aqua

Rabu, 07 Mei 2014

Prabu siliwangi (muslim yang ditutupi oleh penguasa sejarah)



Prabu Siliwangi Adalah Muslim




Berbicara mengenai sisi kehidupan dan jejak perjalanan Prabu Siliwangi sejatinya begitu erat kaitannya dengan sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Namun, sejak lama dan berabad-abad lamanya para penjajah melakukan pendistorsian atas sejarah demi kepentingan kekuasaan dan berupaya mengkaburkan fakta yang sebenarnya. Tujuan yang paling utamanya adalah mereka berusaha untuk menghilangkan fakta yang benar-benar faktuil tentang peranan umat Islam selama ratusan tahun dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang telah sebagian besar mereka lenyapkan dalam buku-buku sejarah. 

            Para penjajah dengan sengaja menggambarkan betapa bangsa Indonesia menjadi maju tatkala diperintah raja-raja Hindu dan Budha. Menurut mereka, datangnya Islam tidaklah memberikan perkembangan dan kemajuan bagi bangsa Indonesia. Bahkan dalam kondisi zaman sekarang pun kehinduan itu tetap eksis dengan cara merubah sejarah yang sebenarnya.  Contohnya adalah penulisan sejarah Prabu Siliwangi, menurut mereka bahwa Prabu Siliwangi demi mempertahankan keyakinan Hindunya, ia berubah menjadi harimau yang sering muncul di hutan larangan yang bernama hutan Saronge di Gunung Salak. Bahkan, melalui tapa brata[1] dan ritual-ritual khusus Prabu Siliwangi ini bisa diundang datang kapan saja, mungkin menghadiri resepsi atau syukuran atas maksud-maksud tertentu. Sehingga Prabu Siliwangi seakan-akan dilukiskan sebagai seorang pemeluk agama Hindu sejati. Bahkan lebih tragis lagi, beliau diceritakan oleh mereka sebagai tokoh yang menolak dan memerangi agama Islam. Demikian cerita seterusnya dan seterusnya hingga berkembang dalam tradisi lisan dan dongeng masyarakat terutama di Jawa Barat.
            Saya berani katakan bahwa itu semua tidak benar. Mereka berusaha mendustakan sejarah diatas kompromi kekuasaan dan kepentingan agama tertentu. Sedangkan sejarah aslinya telah mereka tukar, mereka telah mencuri sejarah yang asli dan menjualnya lalu menukarnya dengan kebohongan. Dan hal ini telah dikatakan oleh Prabu Siliwangi dalam sebagian isi wangsitnya:
“Laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon!”(Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa zaman sudah berganti).
            Betapa beratnya merubah pandangan dan pengetahuan masyarakat yang sudah mendarah daging tentang hal ini. Akibat dari mendapatkan pengetahuan sejarah yang sesat pastilah akan membentuk pola pikir yang sesat pula pada sebagian masyarakat Indonesia khususnya masyarakat di tatar Sunda.
            Demikian kuatnya sehingga hal-hal yang baru akan dianggapnya sebagai sebuah penyimpangan meskipun sesungguhnya mereka sendiri yang telah menyimpang. Bukan karena diakibatkan kebodohan masyarakat, melainkan para penguasa yang sengaja menyembunyikan cerita sebenarnya dan menyebarkan fitnah, kebohongan sekaligus propaganda penyesatan. Tujuannya jelas agar tak mengganggu kepentingan kekuasaan kelompok mereka sehingga masyarakat Indonesia khususnya keturunan Sunda banyak yang tak menyadarinya.
            Salah satu ungkapan Prabu Siliwangi dalam wangsitnya disebutkan pula bahwa kalau pada suatu saat nanti akan ada yang menelusuri sejarah Sunda yang sebenarnya. Walaupun sekian banyak tumpukan sejarah yang sudah dipalsukan, pasti suatu saat kita akan bisa mengenali mana cerita sejarah yang direkayasa dan mana sejarah yang sesuai dengan masanya.         
            Dengan demikian, semakin banyak terbongkarnya keaslian cerita sejarah sesungguhnya, maka akan banyak pula masyarakat yang sadar seperti halnya mereka terbangun dari mimpi. Inilah yang dimaksud dengan hulunya. Bilamana kita memahami dan mengenal hulunya dengan tepat, maka hilirnya pun tidak akan tersesat.
            Saya betul-betul yakin pada keturunan Sunda dan masyarakat Indonesia umumnya, diantara mereka  masih banyak orang-orang yang berhati bersih, ikhlas mendengarkan dan menyimak dengan cermat sebelum mereka memutuskan hal itu benar, kurang tepat atau malah salah besar dalam menilai sesuatu terutama berkaitan dengan realitas dan fakta penulisan sejarah ummat Islam di Indonesia yang ada korelasinya dengan sejarah Kerajaan Pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Siliwangi.
Dusta! Prabu Siliwangi Bukanlah Pengikut Agama Hindu
            Saat masih berusia muda, Prabu Siliwangi terkenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas. Pada waktu mudanya beliau lebih dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa yang diasuh oleh ua[2] nya yang bernama Ki Gedeng Sendangkasih. Selain sebagai juru pelabuhan Muara Jati, Ki Gedeng Sendangkasih juga merupakan raja muda di Surantaka.
            Ketika Raden Pamanah Rasa menginjak usia dewasa, beliau menikah dengan putri Ki Gedeng Sendangkasih yang bernama Nyai Ambetkasih. Dengan menikahi putrinya tersebut, Raden Pamanah Rasa ditunjuk sebagai pengganti Ki Gedeng Sendangkasih menjadi raja muda Surantaka.[3] Dari pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dan Nyai Ambetkasih ini tidak mempunyai keturunan.
            Kemudian Raden Pamanah Rasa menikah dengan Nyai Subanglarang, seorang muslimah yang merupakan putri dari Ki Gedeng Tapa. Nyai Subanglarang dijadikannya sebagai istri yang kedua. Pada waktu Raden Pamanah Rasa memperistri Nyai Subanglarang, beliau belum diberikan gelar Prabu Wangi. Namun, setelah beliau menikah dengan istri ketiganya yakni Nyai Kentring Manik Mayang Sunda, barulah ia dijuluki Prabu Wangi sesudah dinobatkan menjadi penguasa kerajaan Sunda-Galuh.[4]
            Dari pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dengan Nyai Subanglarang inilah yang membuat perubahan dan mengukir sejarah baru di Kerajaan Pajajaran yang berpengaruh hingga kini. Pertemuan diantara keduanya tatkala Prabu Wastu Kencana memerintahkan untuk mengirim utusan menuju Muara jati Cirebon yang tersiar kabar berita tentang dakwah Syeikh Hasanuddin.  
            Asal mulanya Syeikh Hasanuddin datang ke Cirebon bersama Armada Angkatan Laut Tiongkok yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho. Laksamana Muslim Cheng Ho pada waktu itu ditugaskan oleh Kaisar Yung Lo (Dinasti Ming 1363-1644) untuk memimpin misi muhibah ke-36 negara. Antara lain ke Timur Tengah dan Nusantara (1405-1430) yang membawa 62 kapal dan 27.000 pasukan muslim yang salah satunya adalah Syeikh Hasanuddin. 
            Syeikh Hasanuddin merupakan putra dari seorang ulama besar Perguruan Islam di Campa yang bernama Syeikh Yusuf Siddik yang masih ada garis keturunan dengan Syeikh Jamaluddin serta Syeikh Jalaluddin, ulama besar Makkah yang masih keturunan dari Sayyidina Ali r.a dan Siti Fatimah putri Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah seorang ulama yang hafidz al-Qur’an serta ahli Qira’at yang sangat merdu suaranya.
            Dikisahkan bahwa setelah Syeikh Hasanuddin menunaikan tugasnya di Malaka, selanjutnya beliau pulang ke Campa dengan menempuh perjalanan melewati daerah Martasinga, Pasambangan dan Jayapura hingga melalui pelabuhan Muara Jati. Di Muara Jati, Syeikh Hasanuddin berkunjung kembali ke Ki Gedeng Tapa, Syahbandar Cirebon yang dulu pernah dikunjunginya bersama Laksamana Cheng Ho.
            Kedatangan ulama besar yang ahli Qira’at tersebut, disamping karena perubahan tatanan dunia politik dan ekonomi yang dipengaruhi oleh Islam. Pada saat itu sudah mulai banyak kapal niaga muslim yang berlabuh di pelabuhan Cirebon. Mereka semua merupakan kapal niaga dari Timur Tengah, India dan Cina Islam yang memungkinkan tumbuhnya rasa simpati Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar  Cirebon terhadap Islam. Karenanya kedatangan Syeikh Hasanuddin disambut baik oleh Ki Gedeng Tapa.
            Ketika kunjungan yang cukup lama itu berlangsung, Ki Gedeng Tapa dan anaknya Nyai Subanglarang serta masyarakat Syahbandar Muara Jati merasa tertarik dengan suara lantunan ayat suci al-Qur’an. Syeikh Hasanuddin, selain berniaga tapi juga beliau mempunyai tujuan yang mulia yaitu mendakwahkan ajaran-ajaran Islam hingga akhirnya banyak warga yang memeluk agama Islam. 
            Penyebaran agama Islam yang dibawa oleh Syeikh Hasanuddin di Muara Jati Cirebon yang pada saat itu merupakan bagian dari Kerajaan Sunda-Galuh, rupanya sangat mencemaskan Prabu Wastu Kencana. Beliau melarang dan memerintahkan agar dakwahnya dihentikan. Perintah dari raja Sunda-Galuh tersebut dipatuhi oleh Syeikh Hasanuddin.
            Setelah ada perintah pelarangan itu, kemudian Syeikh Hasanuddin mohon diri kepada Ki Gedeng Tapa. Sebagai sahabat, Ki Gedeng Tapa sendiri sangat prihatin atas peristiwa itu sebab sebenarnya Ki Gedeng Tapa sendiri masih ingin menambah pengetahuannya tentang agama Islam. Oleh karena itu, sebagai wujud kesungguhannya terhadap agama Islam, putri Ki Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subanglarang dititipkan kepada Syeikh Hasanuddin untuk belajar mengaji dan memperdalam ajaran agama Islam di Campa.
            Beberapa waktu lamanya berada di Campa, kemudian Syeikh Hasanuddin membulatkan tekad untuk kembali lagi ke wilayah kerajaan Sunda-Galuh. Dorongan semangat dakwahnya tak pantang menyerah. Sesuai dengan namanya Hasanuddin, baginya dakwah merupakan kewajiban dan tugas mulia yang harus senantiasa dijalankan demi kebaikan agamanya. Beliau mempersiapkan dua perahu dagang dan memuat rombongan para santrinya yang diantaranya adalah Syeikh Abdul Rahman, Syeikh Maulana Madzkur, Syeikh Abdillah Dargom dan juga seorang muslimah yaitu Nyai Subanglarang.    
            Sekitar tahun 1416 M, sesudah rombongan kapal Syeikh Hasanuddin memasuki Laut Jawa dan Sunda Kelapa lalu memasuki Kali Citarum yang waktu itu di Kali tersebut digunakan sebagai pintu keluar masuk para pedagang ke negeri Sunda-Galuh. Akhirnya rombongan kapal itu singgah di Pura Dalam atau Pelabuhan Karawang dimana kegiatan pemerintahan ada dalam kewenangan jabatan Dalem.
            Setiba disana, para rombongan sangat menjunjung tinggi peraturan kota Pelabuhan sehingga aparat setempat pun sama-sama menghormati keberadaan mereka. Atas dasar saling menghargai dan menghormati ini, aparat setempat memberikan izin untuk mendirikan dibangunnya sebuah Mushola[5] pada sekitar tahun 1418. Mushola yang mereka bangun bukan hanya dijadikan sebagai sarana untuk ibadah tapi juga sekaligus sebagai tempat tinggal mereka.
            Seiring berjalannya waktu, Syeikh Hasanuddin tak pernah berhenti untuk menyampaikan dakwahnya di Mushola yang dibangunnya itu. Karena uraian dan cara penyampaian dakwahnya mudah dipahami dan dimengerti oleh masyarakat di Pelabuhan Karawang, banyak sekali yang tertarik dengan ajaran Islam. Ahli Qira’at ini sering mengumandangkan suara Qorinya yang khas dan merdu. Sama halnya yang dilakukan oleh para santrinya yaitu Nyai Subanglarang, Syeikh Abdul Rahman, Syeikh Maulana Madzkur dan juga Syeikh Abdullah Dargom alias Syeikh Maghribi yang merupakan keturunan dari Sayyidina Utsman bin ‘Affan r.a. Dengan pengaruh kemerduan suara alunan ayat suci al-Qur’an yang dilantunkan Syeikh Hasanuddin, setiap harinya banyak masyarakat Karawang yang menyatakan diri untuk memeluk agama Islam. Masyarakat Karawang pun menjuluki Syeikh Hasanuddin ini dengan sebutan Syeikh Quro. 
            Sejak berdirinya pesantren Pondok Quro, banyak masyarakat dari pesisir utara yang tertarik dan mengikuti ajaran agama baru (Islam) dan meninggalkan agama yang lama (Sunda Wiwitan). Banyak pula yang sengaja datang ke tempat itu untuk menimba ilmu agama Islam. 
            Berita tentang banyaknya masyarakat yang memeluk agama Islam, rupanya telah terdengar kembali oleh Prabu Wastu Kencana yang sebelumnya pernah melarang Syeikh Quro melakukan kegiatan yang sama tatkala di Pelabuhan Muara Jati Cirebon. Prabu Wastu Kencana mengirim utusan yang dipimpin oleh raja muda Surantaka yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup dan menghentikan kegiatan Syeikh Quro. 
            Dari peristiwa inilah bermula yang nantinya dapat merubah keyakinan Raden Pamanah Rasa sekaligus akan mencatat sejarah baru perubahan besar Kerajaan Pajajaran pada masa kepemimpinannya. Kejadian ini bukan hanya pemicu timbulnya arus gelombang ajaran Islam, tapi juga sebagai mata rantai hilangnya Kerajaan Pajajaran hingga kini. Hal ini bukan dikarenakan adanya campur tangan ghaib atau hanya kebetulan semata, tapi semua itu telah di-skenario-kan oleh Sang Maha Sutradara Allah SWT dan menjadikannya sebagaiasrar[6] yang suatu saat nanti pasti akan terungkap. 
            Tatkala raja muda Surantaka ini tiba di tempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat al-Qur’an yang dilantunkan oleh Nyai Subanglarang. Raden Pamanah Rasa itu pun mengurungkan niatnya untuk menutup Pesantren Syeikh Quro. Saking terpesonanya kepada Nyai Subanglarang, tanpa ragu-ragu lagi Raden Pamanah Rasa menyatakan isi hatinya untuk meminang Nyai Subanglarang yang selain cantik, cerdas dan juga bertutur kata yang baik.[7] Tak mengherankan kalau Nyai Subanglarang ini menjadi rebutan antara Raden Pamanah Rasa dan seorang penguasa di Astana Japura, Amuk Murugul.
            Terjadilah pertempuran sengit antara mereka berdua. Ketinggian ilmu bela diri Amuk Murugul diimbangi dengan kesaktian Raden Pamanah Rasa. Kehebatan jurus beradu dengan jurus yang sama hebatnya karena mereka berdua sama-sama merupakan penguasa dan juga keturunan Raja Sunda.
            Namun, dalam hal ini tentu Allah SWT mempunyai rencana lain dari sayembara memperebutkan Nyai Subanglarang itu harus ada pemenangnya. Dalam satu kesempatan Raden Pamanah Rasa akhirnya bisa mengalahkan Amuk Murugul dan ia pun mengakui kehebatan lawannya dan bersedia mengaku kalah sekaligus takluk pada kehebatan Raden Pamanah Rasa.   
            Setelah selesai pertempuran itu, Raden Pamanah Rasa segera meminang Nyai Subanglarang. Tetapi, Nyai Subanglarang akan menerima pinangan dari Raden Pamanah Rasa asal dengan mengajukan tiga permintaan sebagai mas kawinnya. 
            Permintaan pertama ialah beliau menginginkan bentang saketi atau ada juga yang menyebutkan Lintang Kerti Jejer Seratus yang tak lain adalah tasbih yang mengandung makna secara simbolis bahwa beliau akan tetap konsisten memeluk agama Islam dan melakukan wirid sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai seorang muslimah yang taat akan tetap melaksanakan syariat Islam dengan sungguh-sungguh. Permohonan kesatu Nyai Subanglarang ini disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa. Kemudian, atas petunjuk Syeikh Quro, raja muda Surantaka ini pun segera pergi ke Mekkah untuk mencari tasbih.[8]
            Di tanah suci Mekkah, Raden Pamanah Rasa disambut oleh Syeikh Maulana Ja’far Shiddiq. Beliau merasa kaget yang bercampur rasa heran ketika Syeikh itu telah mengetahui akan kedatangan beliau sebelum dirinya tiba disana. Selain itu, beliau pun terkejut saat nama dan keturunannya diketahui oleh Syeikh Ja’far Shiddiq meski sebelumnya tak pernah mengenali Raden Pamanah Rasa.
            Syeikh Ja’far Shiddiq bersedia akan membantu mencarikan bentang saketi dengan syarat harus mengucapkan Dua Kalimah Syahadat. Karena kecintaannya terhadap Nyai Subanglarang, beliau pun akhirnya mengucapkan Dua Kalimah Syahadat yang tentunya bermakna pengakuan kepada Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib disembah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Semenjak itulah, Raden Pamanah Rasa memeluk agama Islam dan diberikan bentang saketi oleh Syeikh Ja’far Shiddiq sebagai mas kawin untuk menikah dengan Nyai Subanglarang.
            Namun perlu diketahui, bahwa meskipun Raden Pamanah Rasa telah mengucapkan Dua Kalimah Syahadat saat di Mekkah itu, ternyata Raden Pamanah Rasa setelah dinobatkan menjadi penguasa kerajaan Sunda-Galuh yang nantinya dirubah menjadi kerajaan Pajajaran olehnya dan diberikan gelar Sri Baduga Maharaja yang dijuluki Prabu Siliwangi ini, tetap menjadikan agama resmi kerajaan Pajajaran yang dianut saat itu adalah Sunda Wiwitan. Hal ini disebabkan karena beliau ingin mempertahankan ajaran-ajaran dan tradisi dari leluhur-leluhurnya.
            Ajaran Sunda Wiwitan merupakan ajaran warisan dari leluhur sunda yang dijunjung tinggi dan menitikberatkan pada kesejahteraan. Agama Sunda Wiwitan tidak mensyaratkan untuk membangun tempat peribadatan khusus. Oleh karena itu, maka sisa-sisa peninggalan yang berupa Pura ataupun Candi hampir tidak diketemukan di Jawa Barat tidak seperti di Jawa Tengah.[9]
            Permintaan Nyai Subanglarang yang kedua adalah kelak jika mempunyai keturunan, maka anak-anaknya harus memeluk agama Islam dan tidak memeluk agama Sunda Wiwitan. Jika anaknya laki-laki harus jadi muslim, dan jika anaknya perempuan harus menjadi muslimah. Raden Pamanah Rasa pun mengabulkan permohonan yang kedua ini dan menepati janjinya tersebut tatkala anak-anaknya telah lahir.    
            Dari pernikahan dengan Nyai Subanglarang ini, Raden Pamanah Rasa dikaruniai tiga orang anak yang ideal yaitu Prabu Anom Walangsungsang yang lahir pada tahun 1423 M. Anaknya yang kedua adalah Nyimas Ratu Rarasantang yang lahir tahun 1426 M, sedangkan anaknya yang ketiga adalah Raden Raja Sanggara yang lahir pada tahun 1428 M.
            Pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dan Nyai Ratu Subanglarang memang telah membawa hikmah yang sangat besar dan Syeikh Quro memegang peranan penting dalam masuknya pengaruh ajaran Islam ke dalam kerajaan Pajajaran. Inilah kehendak Allah SWT yang tidak dapat dihalang-halang meski kerajaan Pajajaran merupakan kerajaan besar yang menjunjung tinggi ajaran leluhurnya, Sunda Wiwitan.
            Para putra-putri yang dikandung oleh Nyai Subanglarang yang muslimah itu, memancarkan sinar iman dan Islam bagi ummat di Negeri Pajajaran. Perbedaan yang mencolok antara seorang Ibu Subanglarang dengan istri-istri Prabu Siliwangi yang lainnya adalah keunggulan dalam hal mendidik anak-anaknya. Beliau mencerminkan sosok ibu yang sangat ideal dan dikenang hingga kini oleh sebagian masyarakat Bogor. Ibu Subanglarang lah yang biasa disebut dengan nama Ibu Ratu, bukan Nyai Roro Kidul yang telah diyakini selama ini oleh sebagian masyarakat disana.
            Melihat kondisi Pakuan Pajajaran yang pada waktu itu masih menganut Sunda Wiwitan dan sebagai  agama resmi kerajaan, Nyai Subanglarang merasa tidak mungkin bisa mengajarkan Islam kepada putra-putrinya sendirian. Oleh karena itu, ia berencana untuk mengirim putra pertamanya yang bernama Raden Walangsungsang berguru kepada seorang Ulama Thoriqoh, Syeikh Nur Kahfi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Syeikh Nur Jati. Beliau adalah seorang mubaligh asal Baghdad yang memilih bermukim di pelabuhan Muara Jati dan mendirikan perguruan Islam Gunung Jati Cirebon.
            Setelah Raden Walangsungsang melewati usia remaja bersama adik perempuannya yaitu Nyimas Rarasantang, mereka berdua diizinkan untuk meninggalkan Istana Pakuan Pajajaran dan menimba ilmu di perguruan Islam Gunung Jati Cirebon. Sedangkan anak ketiganya, Raja Sanggara menuntut ilmu agama Islam dan mengembara hingga ke Timur Tengah.
            Kepergian dan tujuan anak-anaknya ini jelas telah mendapatkan restu dari Prabu Siliwangi. Tidak mungkin jika tanpa izin dari beliau yang sebagai ayahandanya mereka. Pemberian izin dan restu kepada anak-anaknya ini merupakan bentuk penepatan janjinya kepada Nyai Subanglarang ketika beliau hendak meminangnya kala itu yang meminta anak-anak Nyai Subanglarang tidak memeluk agama Sunda Wiwitan. Prabu Siliwangi merupakan sosok tipikal pemimpin yang selalu menepati janji-janjinya kepada siapapun terlebih kepada istrinya meskipun keinginannya sudah tercapai. Berbeda halnya dengan pemimpin saat ini yang hanya pandai mengobral janji, namun setelah maksud dan tujuannya terlaksana, mereka seakan-akan lupa atau sengaja melupakan janji-janjinya yang manis itu. 
            Selanjutnya, permintaan Nyai Subanglarang yang ketiga adalah menginginkan keturunannya kelak harus menjadi seorang raja. Permintaan yang terakhir ini pun dikabulkan oleh Prabu Siliwangi demi kesungguhan cintanya terhadap Nyai Subanglarang yang cantik dan cerdas itu.
            Prabu Anom Walangsungsang yang merupakan anak pertama mereka menjadi bukti atas realisasi janji Prabu Siliwangi terhadap permintaan Nyai Subanglarang. Sejarah mencatat bahwa Prabu Anom Walangsungsang merupakan pendiri sekaligus sebagai pemimpin Nagari Caruban Larang atas restu dari ayahandanya dan memberikannya gelarSri Mangana.
            Nagari Caruban Larang dahulunya merupakan sebuah pedukuhan yang daerahnya bernama Tegal Alang-alang. Keberhasilan pembangunan yang dilakukan Prabu Anom Walangsungsang menunjukan hasil yang gemilang atas dukungan dan petunjuk dari gurunya, Syeikh Nur Jati yang merupakan peletak dasar Islam di Nagari Caruban Larang dan sangat berjasa dalam penyebaran Islam disana. Semakin maju hingga setiap hari banyak orang yang berdatangan untuk mempelajari Islam dan memilih menetap di Nagari Caruban Larang.  
            Dalam waktu singkat Nagari Caruban Larang telah terkenal hampir ke seluruh Tanah Jawa. Prabu Anom Walangsungsang yang dijuluki Pangeran Cakrabuana ini telah cukup berhasil dalam menyebarkan agama Islam dan membangun pemerintahannya denganmassive. Hal tentang semakin meluasnya penyebaran agama Islam di wilayah kerajaan Pajajaran tersebut telah terdengar oleh Prabu Siliwangi. Meskipun ajaran Islam telah masuk dan mempengaruhi sebagian masyarakat Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sama sekali tidak pernah melarang kegiatan penyebaran agama Islam. Beliau malah memberi keleluasaan kepada masyarakatnya untuk memilih agama menurut keyakinan mereka.[10]Hal ini disebabkan bukan hanya Prabu Siliwangi memiliki hati yang tulus dan telah ber-Syahadat, tapi juga karena Nyai Subanglarang yang sebagai istri keduanya serta anak-anaknya pun memeluk agama Islam.      
            Meskipun demikian, Nagari Caruban Larang pada masa kepemimpinan Pangeran Cakrabuana masih belum menjadi negeri yang mandiri dan masih berada dibawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Hal ini dikarenakan pada waktu itu, Prabu Siliwangi memberikan gelarSri Mangana kepada Pangeran Cakrabuana bukan sebagai tanda pengakuan kedaulatan, melainkan hanya sebagai raja daerah yang tetap dalam posisi bawahan Pakuan Pajajaran.
            Namun, setelah peralihan kekuasaan Nagari Caruban Larang dari Pangeran Cakrabuana kepada Syarif Hidayatullah dan mendirikan Kesultanan Pakungwati, Cirebon barulah menjadi Kesultanan yang mempunyai kedaulatan. Syarif Hidayatullah ini merupakan anak dari Nyimas Rarasantang adiknya Pangeran Cakrabuana. Beliau dinobatkan menjadi Sultan Cirebon atau Susuhunan Jati setelah ia menikahi anak dari Pangeran Cakrabuana, Nyimas Pakungwati yang masih sama-sama merupakan cucu Prabu Siliwangi.
            Dari keturunan Prabu Siliwangi dari istrinya Subanglarang ini telah banyak melahirkan para ulama-ulama besar agama Islam di Jawa Barat yang diantaranya menjadi salah satu dari Wali Songo yakni yang dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Djati yang tak lain adalah Syarif Hidayatullah. Mereka semua keturunan dari Nyai Subanglarang dan telah mengukir catatan sejarah serta dikenang sebagai para pejuang dan penyebar agama Islam di Tatar Sunda atau wilayah Kerajaan Pajajaran. Karena, memang sejatinya sejarah Pajajaran itu begitu erat kaitannya dengan sejarah perkembangan Islam di Indonesia, khususnya di Jawa Barat.
            Tidak akan ada Cirebon kalau tidak ada Nyai Subanglarang. Sebab sejarah tatar Sunda tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan hidup seorang muslimah sejati ini. Pada saat menikah dengan Prabu Siliwangi, Nyai Subanglarang lantas diboyong oleh suaminya untuk tinggal di Bogor yang ketika itu merupakan pusat pemerintahan Pakuan Pajajaran.
            Dengan demikian tidaklah benar cerita yang menyatakan Prabu Siliwangi sebagai seorang Hindu, bahkan rela meninggalkan istananya hanya untuk mempertahankan agama lamanya. Cerita ini sesungguhnya berasal dari para penjajah Belanda dan para penguasa buta yang mempunyai kepentingan kekuasaan dan kepentingan agama tertentu sehingga berupaya untuk mengaburkan peran Islam dalam sejarah bangsa Indonesia karena kebusukan hati mereka. 
Tanggapan terhadap mereka yang mengatakan Prabu Siliwangi beragama Hindu
            Perihal keyakinan yang dianut oleh  Prabu Siliwangi selama ini seakan-akan selalu mengundang ragam pertanyaan dan rasa penasaran sehingga menimbulkan perdebatan diantara masyarakat Sunda yang tak pernah berakhir hingga kini. Ada yang masih mengatakan bahwa Prabu Siliwangi masih tetap dengan keyakinan agamanya yang lama, antara Hindu ataupun Sunda Wiwitan. Namun, ada pula yang meyakini bahwa Prabu Siliwangi telah memeluk agama Islam alias beliau adalah seorang Muslim.
            Disini saya sebagai penulis akan mencoba menjelaskannya secara ringkas dan menyesuaikannya dengan perjalanan sejarah yang sebenarnya, bukan sejarah yang sudah direkayasa oleh para penjajah juga para penguasa ataupun mereka yang mempunyai kepentingan kelompok ataupun agama tertentu. Adapun perkataan mereka adalah sebagai berikut:  
§  Mereka mengatakan, “Bahwa Prabu Siliwangi merupakan pemeluk agama Hindu Sejati dan bahwa sesungguhnya Prabu Siliwangi serta Kerajaannya Pajajaran rela menghilang dari kehidupan nyata hanya karena demi mempertahankan kepercayaannya, yakni agama Hindu ataupun Sunda Wiwitan.”
§  Mereka juga mengatakan sangat tragis, “Bahwa Prabu Siliwangi memerintahkan Prajurit Pakuan Pajajaran untuk menyerang Kesultanan Pakungwati Cirebon karena telah menyebarkan agama Islam di wilayah Pajajaran.” 
§  Mereka mengatakan pula bahwa, “Prabu Siliwangi tidak mempunyai keturunan yang beragama Islam, keturunannya hanyalah Prabu Surawisesa yang merupakan anak dari Nyai Kentring Manik Mayang Sunda”.
            Saya sebagai penulis masih mempunyai harapan dan sangat yakin pada keturunan Sunda yang tidak terpengaruh dengan dongeng-dongeng sesat di atas. Apa yang mereka katakan hanyalah upaya pendistorsian atas sejarah demi mengkaburkan fakta yang sebenarnya dan berusaha untuk menghilangkan fakta yang benar-benar faktuil tentang peranan ummat Islam selama ratusan tahun silam di Indonesia yang telah sebagian besar mereka lenyapkan.
            Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk tidak membantahnya karena saya khawatir akan lebih banyak lagi yang tersesat terutama pada generasi sunda selanjutnya secara turun temurun. Maka secara ringkas saya katakan:
            Tanggapan Pertama, Adapun mereka yang mengatakan Prabu Siliwangi sebagai pemeluk agama Hindu sejati rela menghilang dari kehidupan nyata demi mempertahankan keyakinannya adalah mereka yang tidak mempunyai dasar. Menurut hemat saya, ketika Prabu Siliwangi hendak menikahi Nyai Subanglarang bahwa secara logika dan menurut sisi hukum Syari’at Islam bukan berdasarkan hasil terawangan ataupun penelusuran batin yang salah kaprah, jika seorang non muslim hendak menikahi wanita atau pria yang beragama Islam maka ia yang non muslim apapun agamanya terlebih dahulu harus mengucapkan Dua Kalimah Syahadat sebelum akad pernikahannya dilangsungkan.
            Di dalam ajaran agama Islam, tidak ada seorang ulama pun yang membolehkan wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, bahkan ijma’ para ulama menyatakan haramnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, baik dari kalangan musyrikin; Budha, Hindu, Majusi, ataupun dari kalangan Ahlul Kitab; Yahudi dan Nashrani. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman”.(Q.S Al-Baqarah: 221)
            Dalam ayat di atas, Allah SWT melarang para wali perempuan (ayah, kakek, saudara, paman, dan orang-orang yang memiliki hak perwalian atas wanita) menikahkan wanita yang menjadi tanggungjawabnya dengan laki-laki non muslim.
            Kondisi tersebut sama persis kedudukannya saat peristiwa dimana seorang non muslim dalam hal ini adalah Prabu Siliwangi yang akan menikahi seorang muslimah, Nyai Subanglarang. Maka hukum Islam diatas sangat berlaku baginya meski beliau merupakan seorang raja harus tunduk pada syari’at Islam. Apalagi yang menikahkan mereka adalah seorang ulama besar yakni Syeikh Quro. Sangat tidak mungkin jika hukum syari’at Islam tidak diketahuinya atau tidak diterapkan sebagaimana mestinya. Inilah fakta yang mempunyai dasar, bukan hanya menurut “konon katanya”.
            Tanggapan Kedua, mereka mengatakan bahwa Prabu Siliwangi memerintahkan Prajurit Pakuan Pajajaran untuk menyerang Kesultanan Cirebon karena telah menyebarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Ini adalah perkataan mereka yang sangat tidak relevan dengan sejarah.
            Menurut naskah Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2 menceritakan bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayatullah yang merupakan cucu Prabu Siliwangi dari anaknya Nyimas Rarasantang, dinobatkan oleh Pangeran Cakrabuana sebagai Susuhunan Jati pada Kesultanan Pakungwati.
            Ketika itu Prabu Siliwangi baru saja menempati Istana Sang Bhima, kemudian diberitakan bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran. Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota prajuritnya yang dikirim dari Pakuan Pajajaran menuju Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Hal ini membuat Jagabaya dan pasukannya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar.
            Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Prabu Siliwangi. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi, pengiriman pasukan itu dapat dicegah olehPurohita[11] keraton Ki Purwa Galih. Purohita itu mengatakan bahwa Cirebon merupakan daerah warisan dari anaknya sendiri terhadap cucunya, Pangeran Cakrabuana kepada Syarif Hidayatullah. Bagaimana nanti tanggapan dari negeri-negeri sahabat jika seorang kakek menyerang anak dan cucunya sendiri. Maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh Prabu Siliwangi.
            Keadaan bertambah tegang ketika hubungan Demak dan Cirebon semakin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak.  Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Prabu Siliwangi. Sedangkan Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati tetap menghormati Prabu Siliwangi karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan.
            Sejatinya ketidaksenangan Prabu Siliwangi bukan terhadap Kesultanan Cirebon yang telah berhasil menyebarkan agama Islam, melainkan karena hubungan Demak yang terlalu akrab dengan Cirebon. Terhadap agama Islam, ia sendiri tidak membencinya, karena salah satu dari istrinya pun adalah seorang pemeluk agama Islam yakni Nyai Subanglarang.
            Dalam sumber sejarah Carita Parahyangan, pemerintahan pada masa Prabu Siliwangi dilukiskan sebagai berikut:
“Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa”. (Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
            Dari naskah tersebut dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak masyarakat atau rakyat Pajajaran yang meninggalkan agama lama (Sunda Wiwitan) dan beralih memeluk agama Islam. Jadi, tidaklah benar jika ada yang mengatakan bahwa Kerajaan Pajajaran menyerang Cirebon disebabkan karena kebencian Prabu Siliwangi terhadap Islam. Justru merekalah yang mengatakan demikian itu karena kebencian mereka terhadap Islam dan menyebarkan dongeng-dongeng penuh kebohongan dan kepalsuan. Adapun saya disini tidak bercerita dongeng yang terlahir dari hasil imaginasi dangkal, melainkan saya berbicara mengenai fakta sejarah yang sudah tercatat.    
            Tanggapan ketiga, ada yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi tidak mempunyai keturunan yang beragama Islam. Saya pernah berbincang-bincang dengan salah satu penganut keyakinan Sunda Wiwitan di zaman sekarang ini,  menurutnya salah satu anak Prabu Siliwangi dari Nyai Subanglarang yang paling terkenal bernama Ki Hyang Santang itu hanyalah tokoh fiktif yang diada-adakan. Begitupun anak-anak Nyai Subanglarang yang lain itu tak pernah ada.
            Menurut saya, perkataan mereka hanyalah merupakan propaganda penyesatan dan berusaha mengkaburkan bukti-bukti peninggalan yang ada. Sedangkan, sangat begitu jelas dalam catatan sejarah dikatakan, bahwa dari pernikahan Prabu Siliwangi dan Nyai Subanglarang ini dikaruniai tiga orang anak. Masing-masing yaitu Prabu Anom Walangsungsang yang lahir pada tahun 1423 M. Anaknya yang kedua adalah Nyimas Ratu Rarasantang yang lahir tahun 1426 M, sedangkan anaknya yang ketiga adalah Raden Raja Sanggara yang lahir pada tahun 1428 M.
            Dari pernikahan Nyimas Rarasantang dengan raja Mesir yang masih ada garis keturunan dari Bani Ismail bernama Sultan Syarif Abdullah lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Nyimas Rarasantang pada waktu itu, setelah menikah dengan raja Mesir berganti nama menjadi Syarifah Mudaim yang sekarang makamnya berada di Cirebon bersama kakaknya, Pangeran Cakrabuana (Prabu Anom Walangsungsang). Selain itu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati) pun dimakamkan di tempat yang sama. Sedangkan makam Raden Sanggara yang menurut masyarakat Garut beliau adalah Ki Hyang Santang atau Sunan Rohmat dimakamkan di Godog, Garut.  
            Dari Syarif Hidayatullah, keturunan-keturunan Prabu Siliwangi menyebar hampir ke seluruh wilayah di Jawa Barat, terutama di daerah Banten dan Cirebon. Makam-makam keturunannya yang berada di tiap-tiap daerah inilah sebagai tanda bukti bahwa mereka pernah hidup dan bukan tokoh fiktif seperti yang dikatakan oleh mereka yang berusaha menyesatkan orang-orang Islam dan keturunan-keturunan tanah Sunda.  
            Pertanyaan sederhana untuk mereka, jika memang benar bahwa anak-anak Prabu Siliwangi dari Nyai Subanglarang itu tidak pernah ada dan dianggap sosok yang diada-adakan, lantas keturunan siapakah gerangan Sunan Gunung Djati (Syarif Hidayatullah) yang termasuk salah satu dari Wali Songo itu? Dari mana asalnya Pangeran Cakrabuana, Nyimas Rarasantang, dan Raden Sanggara (Sunan  Rohmat) jika mereka bukan keturunan dari Prabu Siliwangi? Percayakah mereka semua terlahir ke dunia tanpa ada yang melahirkan sementara bukti-bukti makam mereka masih ada? 

            Meskipun nama-nama mereka tidak tertulis di dalam Batu Tulis dan bukan penulis di Batu Tulis, tapi sejatinya merekalah yang telah banyak memberikan perubahan besar dan mengubah haluan kemusyrikan menuju ke-tauhid-an di tanah Jawa Barat.  
            Memang saya disini mengakui bahwa Prabu Siliwangi setelah dinobatkan menjadi Raja Kerajaan Sunda-Galuh yang kemudian dirubahnya menjadi Kerajaan Pajajaran menjadikan agama resmi kerajaannya yang dianut saat itu adalah Sunda Wiwitan. Akan tetapi, yang terpenting disini adalah bahwa Prabu Siliwangi telah ber-Syahadat dan mengakui bahwa “Tiada Tuhan Selain Allah”. Mana mungkin jika Prabu Siliwangi bukan seorang muslim sementara anak-anak dan keturunannya menjadi para wali Allah dan menjadi ulama-ulama besar Islam pada zamannya masing-masing. Kecuali anak Prabu Siliwangi dari Nyai Kentring Manik Mayang Sunda yang bernama Prabu Surawisesa inilah yang tetap setia dengan agamanya yang kemudian diagungkan oleh para penganut Sunda Wiwitan hingga kini.      
            Perlu diketahui, bahwa kerajaan Pajajaran yang dahulu kala menganut ajaran Sunda Wiwitan, kelak akan lenyap dan tidak akan pernah berdiri lagi, sebab akan digantikan dengan kerajaan Pajajaran yang baru, yakni Pajajaran yang menganut ajaran Islam; Pasundan Islam. Hal ini telah disampaikan oleh Prabu Siliwangi dalam sebagian wangsitnya:   
“Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engke jagana jembar senang mugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran. Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obahna zaman; Pilih: ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, heunteu pantes jadi raja amun somah sakabehna lapar bae jeung balangsak.” (Kalian boleh memilih untuk hidup ke depan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini (penganut Sunda Wiwitan) tapi Pajajaran yang baru (Pasundan Islam) yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! Aku tidak akan melarang, sebab untukku, tidak pantas jadi raja jika rakyatnya lapar dan miskin).
Wallahu 'Alam. (Gugun Sopian) 


[1] Tapa Brata adalah sejenis tapa untuk meraih kesempurnaan jiwa.
[2] Ua dalam bahasa Sunda adalah sebutan atau panggilan kepada kakak dari ayah atau ibunya. Dalam hal ini, Ki Gedeng Sendangkasih merupakan kakak dari ayahnya Prabu Siliwangi yakni Ningrat Kencana atau Dewa Niskala, keduanya merupakan anak dari Prabu Wastu Kencana dari istrinya yang bernama Mayangsari.   
[3] Dalam Purwaka Caruban diterangkan bahwa “I telas ira Ki Gedeng (Sedang) Kasih angemasi, Sang Prabhu Siliwangi rinatwaken ta sireng Sedangkasih nagari, yata ri huwus malahaken wigrahanya kabéh.”(Setelah Ki Gedeng Sendangkasih meninggal, Prabu Siliwangi dijadikan raja di Negara Sendangkasih (Surantaka), yaitu setelah mengalahkan semua musuhnya).   
[4] Dalam Prasasti Batu tulis diberitakan bahwa Prabu Siliwangi dinobatkan menjadi raja dua kali, sebagai raja kerajaan Galuh dan raja kerajaan Sunda. Kerajaan Galuh diserahkan dari ayahnya, Dewa NIskala kepada Prabu Siliwangi. Sedangkan tahta kerajaan Sunda diserahkan dari mertuanya, Prabu Susuktunggal yang merupakan ayah dari Nyai Kentring Manik Mayang Sunda.    
[5] Mushola yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin ini sekarang menjadi Mesjid Agung Karawang.
[6] Rahasia ghaib
[7] Nyai Subanglarang digambarkan dalam Purwaka Caruban sebagai “yata kanya paripurna ing hayu, kadi patang welas kang chandra ng téjamaya.”(Nyai Subanglarang adalah wanita yang kecantikannya sangat sempurna, ibarat cahaya terang bulan tanggal empat belas.   
[8] Pada zaman dahulu, tasbih yang biasa digunakan orang Islam untuk wirid ini sulit dicari dan ditemukan, tidak seperti pada zaman sekarang orang Islam mudah untuk mendapatkannya karena sudah banyak toko-toko yang menjualnya.
[9] Hal tersebut pernah dipublikasikan dalam tulisan Antropolog Nanang Saptono yang berjudul “Di Jateng Ada Candi, Di Jabar Ada Kabuyutan”. Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas edisi 3 September 2001.
[10] Mengenai semakin tersebar luasnya ajaran agama Islam di wilayah Pajajaran, Prabu Siliwangi pernah mengatakan “Ngaing Raja Pajajaran hanteu nyaram somah milih agama, anu dicaram soteh nyaéta: palah-pilih teu puguh milih, mimiti milih agama ieu laju bosen … milih deui! Raja Pajajaran, henteu nyaram somah milih agama, ari tetala mah éta agama lain pi’eun ngaganggu kasantosaan nagara, lain pi’eun macikeuh anu barodo, lain pi’eun numpuk kabeungharan, lain pi’eun kasenangan sorangan. “(Raja Pajajaran tidak melarang rakyat memilih agama, yang dilarang hanyalah sembarangan memilih suatu yang tak tentu mula-mula pilih satu agama sudah bosan … memilih lagi! Raja Pajajaran tak melarang rakyat memilih agama bila jelas itu agama bukan untuk mengganggu kesejahteraan negeri, bukan untuk mengakali orang bodoh, bukan untuk menumpuk kekayaan, bukan untuk kesenangan pribadi).
[11] Pendeta tertinggi

Selasa, 06 Mei 2014

Naskah proklamasi yang hilang

TAHUKAH ANDA FAKTA MENGENAI NASKAH PROKLAMASI YG SEBENARNYA

Ketika para pendiri Republik ini (terutama panitia sembilan) berhasil merumuskan satu gentlement agreement yang sangat luhur dan disepakati pada tanggal 22 juni 1945 kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Sesungguhnya Piagam Jakarta inilah mukadimah UUD ’45 yang pertama. Tanggal 17 Agustus 1945 pada hari Jum’at dan bulan Ramadhan, Indonesia lahir sebagai negara dan bangsa yang merdeka.Dan hendaknya disadari oleh setiap muslim, bahwa Republik yang lahir itu adalah negara yang “berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Negeri ini pernah berdasar pada syari’at Islam, meskipun syari’at Islam yang dikompromikan, karena pada dasarnya syari’at Islam adalah rahmatan lil’alamiin, bukan hanya untuk umat Islam.
Namun keesokan harinya, tanggal 18 Agustus, rangkaian kalimat “berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan yang Maha esa”.
Pengkhianatan Naskah Proklamasi: Piagam Jakarta.
Teringat dengan Piagam Jakarta maka akan teringat pula dengan tujuh kata yang yang dihapus, ”Kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tujuh kata inilah yang membuat umat islam politik (islamopolithics : orang yang menerapkan nilai-nilai islam dalam kehidupan bernegara/ politik, tidak ada pendiferensiasian antara islam (ibadah) dan politik) menjadi berang hingga saat ini, dan masih sangat mengharapkan agar kata tersebut muncul kembali dalam Sila Pertama Pancasila (Pancasila waktu itu diterima sebagai bagian dari manifestasi islam karena waktu itu pembuat Pancasila menyertakan tujuh butir kata tersebut). Saat ini masyarakat mengalami penyempitan pandangan, bahwa Piagam Jakarta adalah hanya tujuh butir kata yang mengalami penghapusan.
Piagam Jakarta yang sebenarnya adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar yang biasa kita dengarkan ketika upacara-upacara formal. Seharusnya piagam itulah yang harus dibacakan ketika proklamasi Indonesia dikumandangkan karena di dalamnya telah berisi falsafah dasar berdirinya bangsa ini dan dasar penggerak ketika negara ini akan berkembang (Quo Vadis Indonesia).
Naskah Proklamasi yang kita tahu adalah sebuah kertas dengan tulisan dari Soekarno yang penuh dengan coretan. Bila kita coba mengkrititsi lebih dalam, melihat dan meneliti. Apakah sebuah proklamasi bangsa yang besar ini dibuat dengan sangat tergesa-gesa? Tidak ada Negara di belahan bumi manapun yang mirip dengan Indonesia yang Naskah asli proklamasinya penuh dengan corat-coret sana-sini dan yang parahnya adalah hanya dari pikiran beberapa orang saja.
Naskah Proklamasi yang sebenarnya adalah Naskah Piagam Jakarta. Soekarno pada waktu itu enggan membacakan Naskah Piagam Jakarta karena di dalamnya masih ada “Tujuh Kata” sakral. Soekarno sangat paham dengan makna kata tersebut dan sejarah yang menyertai prosesinya, seandainya Naskah Piagam Jakarta ini dijadikan Naskah Proklamasi. Ditambah desakan kaum nasionalis muda waktu itu yang memaksa untuk segera diproklamasikannya negeri ini.
Bila kita ingat lagi bersama-sama tentunya pelajaran sejarah di SMA kita dulu. Maka tertulislah nama SM Kartosuwiryo. SM Kartosuwiryo telah mengumandangkan (mengumumkan) kemerdekaan Negara Islam Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1945. Hal itulah yang membuat kaum muda menculik Soekarno ke Rengasdenglok, karena takut seandainya negeri ini menjadi negeri islam.
Mengingat SM Kartosuwiryo, imam NII telah mengumandangkan berdirinya negeri islam pada tanggal 15 Agustus. Ahmad Soebardjo yang waktu itu mewakili kaum muda menyarankan Soekarno agar membuat naskah proklamasi seperti pengumuman proklamasi yang dibacakan Kartosuwiryo pada tanggal 15 Agustus 1945. Jadi Naskah Proklamasi kita adalah hanya merupakan Pengumuman Proklamasi bukan suatu naskah yang melandasi jiwa bangsa Indonesia ini. Naskah proklamasi kita adalah naskah proklamasi yang paling aneh bila diandingkan dengan naskah proklamasi dari Negara-negara di belahan dunia lain.
Naskah Piagam Jakarta
Bahwa sesungguhnja kemerdekaan itu jalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka pendjadjahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perdjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai (lah) kepada saat jang berbahagia dengan selamat-sentausa mengantarkan rakjat Indonesia kedepan pintu gerbang Negara Indonesia jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaja berkehidupan kebangsaan jang bebas, maka rakjat Indonesia menjatakan dengan ini kemerdekaannja.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka jang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, jang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indnesia, jang berkedaulatan rakjat, dengan berdasar kepada: ketuhanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja, menurut dasar kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawaratan perwakilan, serta dengan mewudjudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia.
Djakarta, 22 Juni 1945
Ir. Soekarno
Mohammad Hatta
A.A. Maramis
Abikusno Tjokrosujoso
Abdulkahar Muzakir
H.A. Salim
Achmad Subardjo
Wachid Hasjim
Muhammad Yamin
Naskah inilah yang semestinya dibacakan ketika Negara Indonesia merdeka…
Sesungguhnya kejahatan yang paling besar terhadap suatu bangsa dan kemanusiaan adalah pemutarbalikan fakta sejarah. Hal ini pasti akan menimbulkan keresahan global. Contohnya dapat kita lihat pada kasus manipulasi sejarah penjajahan Jepang di Korea dan Cina. Apa yang terjadi di Jepang tampaknya juga terjadi di negeri ini. Demikian pula kiranya yang terjadi pada Piagam Jakarta, dan penerapan syari’at Islam di Indonesia, yang mengemuka justru seolah olah jika syari’at Islam diterapkan itu sama dengan menghianati perjuangan para pahlawan.
Ada yang mengungkapkan “Pendahulu-pendahulu kita itu berpikir jauh ke depan. Negara kita kan negara hukum. Landasannya adalah Pancasila dan UUD’45. Ini semua dulu sudah dirumuskan oleh tokoh-tokoh Islam.” Atau ada yang menyatakan bahwa dulu para ormas Islam tidak pernah menginginkan Indonesia menjadi negara Islam, atau menginginkan syari’at Islam diterapkan di negeri ini.
Fakta Sebenarnya
Bila pembaca ingin detailnya bagaimana perjuangan pendahulu kita untuk tegaknya Islam di Indonesia, silakan membaca buku Piagam Jakarta 22 Juni 1945 karya H. Endang Saifuddin Anshari (Pustaka, 1983). Pada ruang terbatas ini, kami hanya ingin mengungkap bagian paling penting dari aspek sejarah yang tak boleh dilupakan, apalagi dimanipulasikan.
Istilah Piagam Jakarta atau Jakarta Charter adalah istilah yang diintroduksikan oleh seorang Muslim nasionalis sekular, Mr. Muhammad Yamin. Ini terlihat dari ungkapan Soekarno dalam sidang BPUPKI tatkala menolak keberatan Ki Bagus Hadikusumo, pemimpin Muhammadiyah, yang meminta agar anak kalimat bagi pemeluk-pemeluknya dicoret dari pembukaan (preambule): “Pendek kata inilah kompromis yang sebaik-baiknya. Jadi Panitia memegang teguh kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muhammad Yamin “Jakarta Charter”, yang disertai perkataan anggota yang terhormat Sukiman “Gentleman’s Agreement”, supaya ini dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak kebangsaan. Saya mengharap paduka tuan yang mulia, rapat besar suka membenarkan sikap Panitia itu”
Dari ungkapan Ki Bagus yang juga sejalan dengan saran Kiai Ahmad Sanusi, terlihat bahwa aspirasi golongan Islam yang didukung oleh surat 52 ribu ulama setanah air  bukanlah apa yang tercantum dalam Piagam, yakni:Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, denganberdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan….Indonesia
Akan tetapi, aspirasi golongan Islam yang waktu itu antara lain ditokohi oleh Abikusno Tjokrosoejoso (PSII), Abdul Kahar Muzakkir (Muhammadiyah), Haji Agus Salim (Partai Penyadar), dan Abdul Wahid Hasyim (Nahdatul Ulama), adalah:Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam[1], menurut dasar kemanusiaan. Ini terlihat dari ucapan Abikusno untuk menengahi debat Soekarno dengan Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah),“Kalau tiap-tiap dari kita harus, misalnya dari golongan Islam menyatakan pendirian, tentu saja kita menyatakan, sebagaimana harapan tuan Hadikusumo. Tetapi kita sudah melakukan kompromi…” . Penjelasan Abikoesno ini disambut dengan tepuk tangan anggota BPUPKI dan akhirnya Hadikusumo menerima dan sidang akhirnya menerima Piagam Jakarta secara bulat.
Sayangnya, gentleman’s agreement ini dilupakan oleh tokoh-tokoh kalangan nasionalis tatkala BPUPKI sudah berubah menjadi PPKI. Saat mengumumkan UUD 1945, hasil sidang BPUPKI berhari-hari yang dipenuhi dengan perdebatan dan kompromi yang susah payah (berupa Mukadimah atau Piagam Jakarta dan Batang Tubuh UUD) tiba-tiba diubah dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Perubahan itu antara lain:
1. Dalam Preambule (Piagam Jakarta), anak kalimat: berdasarkan kepada ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
2. Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret.
3. Sejalan dengan perubahan di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Persetujuan PPKI atas perubahan itulah yang oleh pimpinan Masyumi Prawoto Mangkusasmito dikatakan menimbulkan satu historische vraag, satu pertanyaan sejarah; menimbulkan kekecewaan golongan Islam. Muhammad Natsir saat itu berkata: “Menyambut hari Proklamasi 17 Agustus kita bertahmied. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus, kita beristighfar. InsyaAllah umat Islam tidak akan lupa”
Namun demikian, buru-buru Soekarno sebagai salah satu pihak yang paling bertanggung jawab atas perubahan itu mengatakan bahwa UUD itu sementara, UUD kilat, Revolutiegrondwet. Soekarno menjanjikan bahwa jika kondisi normal akan mengumpulkan MPR untuk membuat UUD yang lebih lengkap dan sempurna (ibid, 43). Akan tetapi, kita melihat fakta sejarah pada sidang-sidang konstituante hasil pemilu 1955, ternyata terjadi deadlock dan Soekarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 yang isinya kembali kepada UUD 1945 yang Revolutiegrondwet itu. Hal itu berlaku hingga hari ini.
Mengapa Piagam Jakarta masih terus mengemuka? Media Indonesia (30/08/2001) menulis bahwa sebabnya adalah adanya fakta sejarah yang mendukungnya. Dalam konsiderans Dekrit Presiden 5 Juli 1959 disebutkan bahwa bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu kesatuan dengan konstitusi itu. Kita tahu, dengan dasar hukum dekrit itulah, UUD ’45 berlaku kembali sebagai hukum dasar tertinggi di Indonesia.
Sayang sekali, konsiderans itu ternyata toh tidak pernah menjadi pertimbangan yang sebenarnya. Lebih merupakan beleid politik. Pasalnya, pemerintah Indonesia dengan seluruh sistem hukum dan ketatanegaraannya, pada faktanya sama sekali tidak memperhatikan apa yang ada di dalam Piagam Jakarta serta apa yang menjadi pemikiran dan perasaan umat Islam Indonesia. Bahkan, yang ada justru depolitisasi dan rekayasa sedemikian rupa. Tujuannya agar Islam dalam arti ideologi (Islam mabda’i) atau politik (Islam siyasi) hilang musnah dari permukaan bumi Islam yang bernama Indonesia ini.
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
”Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah ta’aala dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS AnNashr ayat 1-3)
Menyerang isu penerapan syari’at Islam sebagai akan kembali ke masa barbar, atau akan teraniayanya non-Muslim, sungguh kekhawatiran laten dan klise yang dulu diungkapkan oleh Latuharhary pada sidang BPUPKI (H. Endang Saifuddin, ibid, 29) dan muncul lagi pada petang 17 Agustus 1945, yakni tatkala seorang opsir Jepang menyampaikan bahwa orang-orang Kristen Protestan dan Katolik dari Timur enggan bergabung manakala digunakan Mukaddimah dan Batang Tubuh UUD 1945 hasil sidang BPUPKI (H. Endang Saifuddin, ibid, 45-46). Akan tetapi faktanya pada saat bangsa Indonesia masih berpegang teguh pada UUD 1945 (hasil perubahan memenuhi aspirasi mereka), toh orang-orang Kristen dan Katolik dari Timur itu sangat kuat keinginannya melepaskan diri dari Indonesia. Kongres Papua, FKM, seolah iri kepada Timtim yang telah berhasil memisahkan diri dari NKRI.
Berikut isi teks proklamasi yang disusun oleh duet Soekarno-Hatta:
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05 Atas nama bangsa Indonesia. Soekarno/Hatta
Teks tersebut merupakan hasil ketikan Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.
Proklamasi kemerdekaan itu diumumkan di Rumah Bung Karno, Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada 17 Agustus 1945, hari Jum’at, bulan Ramadhan, pukul 10.00 pagi.
Kritik KH Firdaus AN terhadap teks Proklamasi diatas:
  1. Teks Proklamasi seperti tersebut diatas jelas melanggar konsensus, atau kesepakatan bersama yang telah ditetapkan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 22 Juni 1945.
  2. Yang ditetapkan pada 22 Juni 1945 itu ialah, bahwa teks Piagam Jakarta harus dijadikan sebagai Teks Proklamasi atau Deklarasi Kemerdekaan Indonesia.
  3. Alasan atau dalih Bung Hatta seperti diceritakan dalam bukunya Sekitar Proklamasi hal. 49, bahwa pada malam tanggal 16 Agustus 1945 itu, ‘Tidak seorang di antara kami yang mempunyai teks yang resmi yang dibuat pada tanggal 22 Juni 1945, yang sekarang disebut Piagam Jakarta, ‘ tidak dapat diterima, karena telah melanggar kaidah-kaidah sejarah yang harus dijunjung tinggi. Mengapa mereka tidak mengambil teks yang resmi itu di rumah beliau di Jl. Diponegoro yang jaraknya cukup dekat, tidak sampai dua menit perjalanan? Mengapa mereka bisa ke rumah Mayjend. Nisimura, penguasa Jepang yang telah menyerah dan menyempatkan diri untuk bicara cukup lama malam itu, tapi untuk mengambil teks Proklamasi yang resmi dan telah disiapkan sejak dua bulan sebelumnya mereka tidak mau? Sungguh tidak masuk akal jika esok pagi Proklamasi akan diumumkan, jam dua malam masih belum ada teksnya. Dan akhirnya teks itu harus dibuat terburu-buru, ditulis tangan dan penuh dengan coretan, seolah-olah Proklamasi yang amat penting bagi sejarah suatu bangsa itu dibuat terburu-buru tanpa persiapan yang matang!
  4. Teks Proklamasi itu bukan hanya ditandatangani oleh 2 (dua) orang tokoh nasional (Soekarno-Hatta), tetapi harus ditanda-tangani oleh 9 (sembilan) orang tokoh seperti dicantum dalam Piagam Jakarta. Keluar dan menyimpang dari ketentuan tersebut tadi adalah manipulasi dan penyimpangan sejarah yang mestinya harus dihindari. Teks itu tidak otentik dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Deklarasi Kemerdekaan Amerika saja ditandatangani oleh lebih dari 5 (lima) orang tokoh.
  5. Teks Proklamasi itu terlalu pendek, hanya terdiri dari dua alinea yang sangat ringkas dan hampa, tidak aspiratif. Ya, tidak mencerminkan aspirasi bangsa Indonesia; tidak mencerminkan cita-cita yang dianut oleh golongan terbesar bangsa ini, yakni para penganut agama Islam. Tak heran banyak pemuda yang menolak teks Proklamasi yang dipandang gegabah itu. Tak ada di dunia, teks Proklamasi atau deklarasi kemerdekaan yang tidak mencerminkan aspirasi bangsanya. Teks Proklamasi itu manipulatif dan merupakan distorsi sejarah, karena tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Dalam sejarah tak ada kata maaf, karena itu harus diluruskan kembali teks Proklamasi yang asli. Adapun teks Proklamasi yang otentik, yang telah disepakati bersama oleh BPUPKI pada 22 Juni 1945 itu sesuai dengan teks atau lafal Piagam Jakarta.
KH Firdaus AN mengusulkan supaya dilakukan koreksi sejarah. Untuk selanjutnya, demi menghormati musyawarah BPUPKI yang telah bekerja keras mempersiapkan usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, maka semestinya pada setiap peringatan kemerdekaan RI tidak lagi dibacakan teks proklamasi “darurat” susunan BK-Hatta. Hendaknya kembali kepada orisinalitas teks proklamasi yang otentik seperti tercantum dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 diatas.
Benarlah Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam yang mensinyalir bahwa dekadensi ummat terjadi secara gradual. Didahului pertama kali oleh terurainya ikatan Islam berupa simpul hukum (aspek kehidupan sosial-kenegaraan). Tanpa kecuali ini pula yang menimpa negeri ini. Semenjak sebagian founding fathers negeri ini tidak berlaku “amanah” sejak hari pertama memproklamirkan kemerdekaan maka diikuti dengan terurainya ikatan Islam lainnya sehingga dewasa ini kita lihat begitu banyak orang bahkan terang-terangan meninggalkan kewajiban sholat. Mereka telah mencoret kata-kata “syariat Islam” dari teks proklamasi. Bahkan dalam teks proklamasi “darurat” tersebut nama Allah ta’aala saja tidak dicantumkan, padahal dibacakan di bulan suci Ramadhan! Seolah kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia tidak ada kaitan dengan pertolongan Allah ta’aala…!
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
“Sungguh akan terurai ikatan Islam simpul demi simpul. Setiap satu simpul terlepas maka manusia akan bergantung pada simpul berikutnya. Yang paling awal terurai adalah hukum dan yang paling akhir adalah sholat.” (HR. Ahmad 45/134)

Jumat, 02 Mei 2014

Muslim pencari ridho kaum kuffar


Ada sebuah gejala baru yang selama ini tidak pernah dikenal dalam tradisi dan sejarah Islam. Yaitu munculnya sosok Muslim yang sibuk mencari keridhaan non-Muslim alias kaum kuffar. Selama ini Islam mengarahkan seorang beriman untuk hidup dengan landasan niat mengejar keridhaan Allah semata. Seorang Muslim hamba Allah ialah seorang yang dalam segenap kiprahnya hanya mengharapkan keridhaan Penciptanya. Setiap kali beramal, berfikir, berbicara, bersikap bahkan berperasaan, seorang Muslim  selalu bertanya bagaimanakah Allah akan menilai amal, fikiran, ucapan, sikap dan perasaannya. Demikianlah cara pandang seorang Muslim sejati. Sedangkan bila seorang Muslim pencari ridha kaum kuffar berkiprah, maka ia sibuk bertanya bagaimanakah kaum kuffar akan menilai kiprahnya.
Dewasa ini kita berada dalam era paling kelam dalam sejarah Islam. Dunia menyaksikan munculnya fenomena abnormal dimana seorang Muslim sibuk mencari keridhaan kaum kuffar. Dalam babak kepemimpinan para Mulkan Jabriyyan atau Para Penguasa Diktator dewasa ini, sebagian umat Islam menjadi terpengaruh oleh fihak penguasa dunia. Padahal Allah  menyerahkan giliran kepemimpinan dunia kepada kaum kuffar –seperti yang kita saksikan dewasa ini- hanyalah dalam rangka menguji keimanan dan ke-istiqomahan kaum muslimin.
Bagi orang beriman yang tetap meyakini bahwa hanya Allah sajalah Penguasa Sejati langit dan bumi, maka ia akan tetap hidup dan berkiprah berlandaskan niat mencari keridhaan Allah. Namun bagi Muslim yang tertipu dan menyangka bahwa kaum kuffar telah menjadi penguasa yang sungguh berkuasa di dunia, maka mereka mulai mengalihkan hidup dan kiprahnya berlandaskan niat mencari keridhaan para penguasa diktator tersebut.
Bila seorang Muslim sejati berbicara, ia berbicara untuk mencari ridha Allah. Bila seorang Muslim pencari ridha kaum kuffar tinggal diam, maka ia tidak berani berbicara karena ingin menyenangkan kaum kuffar. Bila seorang Muslim berjuang, maka ia berjuang untuk mentaati perintah Allah dan dalam rangka mengejar ridha Allah. Sedangkan seorang Muslim pencari ridha kaum kuffar tidak berjuang –padahal ia sangat berhak untuk itu- karena tidak ingin membuat kaum kuffar menjadi benci kepadanya. Sudah barang tentu ini semua tidak diutarakan secara blak-blakan, melainkan dibungkus dengan dalih misalnya ”langkah ini tidak baik untuk da’wah Islam” atau ”langkah ini akan menjauhkan orang dari Islam”.
Muslim jenis baru ini sangat terobsesi dengan upaya menjaga image atau citranya di hadapan orang kafir. Sedemikian rupa sehingga tolok ukur wala dan bara-nya (loyalitas dan berlepas diri-nya) berlandaskan penilaian si kafir terhadap image si Muslim. Muslim macam ini sangat menyukai sesama Muslim yang berpenampilan ”anak baik” di hadapan kaum kafir. Dan ia sangat mencela Muslim yang menurutnya mencoreng ”nama baik orang Islam”.
Jika identitas Islam yang ia tampilkan akan menggusarkan kaum kafir, maka ia rela menyesuaikan identitasnya dengan apa saja asal kaum kuffar menjadi mau menerimanya. Bila kaum kuffar mensyaratkan agar identitas Islam yang dikedepankan hendaknya tanpa embel-embel ideologi , maka ia akan tampil penuh rasa percaya-diri dengan  menerjemahkan kalimat Basmalah sebagai: ”Dengan nama Allah Tuhan Pengasih, Tuhan Penyayang, Tuhan Segala Agama.” Ia akan siap membangun negara dengan meleburkan perbedaan ideologi ke dalam faham Nasionalisme. Dalam rangka mencari ridha kaum kuffar ia akan menjamin bahwa kemenangannya dalam pertarungan politik tidak akan diikuti dengan penerapan hukum Syariah Islam. Ia akan menafsirkan kewajiban jihad di dalam Al-Qur’an sebagai apa saja yang menyenangkan kaum kuffar asal bukan berarti mengangkat senjata di jalan Allah dalam rangka ’isy kariman au mut syahidan (hidup mulia atau mati syahid). Bahkan secara perlahan namun pasti mereka sudah meninggalkan kosa kata jihad dalam kesehariannya…!!
Muslim jenis baru ini cenderung menjadi agresif, ekstrim dan tidak toleran terhadap sesama saudara seimannya. Namun toleran, moderat dan santun kepada kaum kuffar. Bila kepentingan kaum kuffar terusik atau terancam oleh sebagian Muslim, maka ialah orang pertama yang lompat untuk memberikan perhatian dan pembelaan bagi mereka. Ia tega berbicara menentang saudara seimannya bahkan mengkhianatinya. Ia sampai hati menganjurkan sesama Muslim untuk mengintai dan membocorkan rahasia saudara seimannya kepada fihak berwenang demi memenuhi rasa aman dan tenteram kaum kuffar. Apa yang ia lakukan diklaim sebagai berjuang demi Islam dan Da’wah. Apa yang dilakukan umat Islam disebut sebagai tindak terorisme dan pembangkangan terhadap fihak yang berwenang.
Bila ia berpapasan dengan seorang Muslim ia tampilkan wajah datar kadang suram. Bila ia jumpa dengan kaum kafir ia tebar senyum dan sikap ramah. Malah ada sebagian dari Muslim pencari ridha kaum kuffar ini yang tidak sampai hati menyebut kaum kuffar sebagai kaum kuffar…!!! Sungguh sikap dan tingkahnya sangat cocok dengan gambaran yang Allah berikan dalam Al-Qur’an:
”Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS Al-Baqarah ayat 8-12)

Sombongnya Sistem Demokrasi

demoDewasa ini fihak penguasa dunia (baca: Barat Amerika dan Eropa) telah berhasil mempromosikan sistem hidup mereka, yakni Demokrasi, kepada seluruh negara yang ada di dunia, kecuali sedikit sekali yang masih mempertahankan sistem Kerajaan. Itupun sambil sistem Kerajaan yang tersisa hanya berjalan secara sangat seremonial dan simbolik. Sedangkan di dalam sistem sosial-politik riilnya, mereka memberlakukan sistem Demokrasi. Di antara contohnya ialah Kerajaan Malaysia, Kerajaan Britania Raya serta Keemiran Qatar.
Sistem demokrasi bertumpu kepada rakyat sebagai pemangku kedaulatan. Sedangkan sistem kerajaan bertumpu kepada kedaulatan di tangan satu orang, yaitu sang raja atau emir. Kedua-duanya jelas tidak on-line dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam kedaulatan sepenuhnya di tangan Allah. Oleh karena itu pemimpin di dalam masyarakat Islam dijuluki Khalifah alias wakil. Seorang khalifah tidak dibenarkan untuk memimpin dengan anggapan bahwa dirinyalah yang berkuasa penuh. Ia harus selalu mengingat bahwa yang berkuasa pada hakekatnya Allah dan jika dirinya ingin dinilai memimpin dengan amanah berarti ia harus tunduk sepenuhnya kepada Hukum dan Kekuasaan Allah. Seorang khalifah tidak dibenarkan menjadi penentu legal dan illegalnya suatu urusan. Sebab penentuan akan hal ini sepenuhnya hak Allah. Dalam sistem kerajaan maka raja adalah penentu benar-salahnya suatu urusan.
Sehingga pernah terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Khattab seorang wanita memprotes kebijakan beliau yang memerintahkan kaum wanita agar membatasi nilai mahar yang ditetapkan kepada lelaki yang datang melamar. Alasan pembatasan itu, menurut Umar, karena sedang terjadi resesi ekonomi (masa paceklik). Lalu wanita tadi membacakan ayat Al-Qur’an di mana Allah memberikan kebebasan wanita untuk menetapkan nilai maharnya ketika dilamar. Maka Khalifah Umar langsung bekata: ”Astaghfirullah… Wanita itu benar dan Umar salah. Dengan ini saya cabut kebijakan yang baru saja saya keluarkan!” Subhanallah….! Bayangkan, seorang pemimpin tertinggi rela mencabut kebijakan yang baru saja ia keluarkan hanya karena protes seorang warga-negara berupa seorang wanita! Tetapi, masalahnya di sini ialah bahwa wanita tersebut ber-hujjah dengan bersandar kepada Yang Maha Kuasa. Sehingga sang khalifah tidak bisa bersikap selain tunduk kepada hujjah wanita tersebut. Sebab pada hakikatnya Umar bukan sedang tunduk kepada wanita itu, melainkan ia tunduk kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Benar. Hal ini selaras dengan arahan Allah mengenai bagaimana sepatutnya seorang yang menjadi bagian dari ulil amri minkum memimpin masyarakat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri minkum (para pemimpin di antara kalian). Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS AnNisa ayat 59)
Pemimpin tertinggi dalam sistem Islam berkewajiban menegakkan budaya mengembalikan segenap urusan kepada Allah (Al-Qur’an) dan RasulNya (As-Sunnah). Bila sang pemimpin itu sendiri lupa, maka masyarakat berhak sekaligus berkewajiban mengingatkan pemimpin tersebut untuk kembali kepada Allah dan RasulNya. Dan seorang pemimpin adil lagi berjiwa amanah seperti Umar bin Khattab rela mengalahkan egonya daripada menentang Allah dan RasulNya. Sebab pada asalnya setiap orang beriman selalu mengarahkan egonya untuk tunduk kepada Allah.

Beberapa waktu yang lalu Somalia mengangkat seorang pemimpin yang berasal dari salah satu faksi ”Islamic Court”. Faksi ini dikenal sebagai salah satu faksi pejuang Islam (mujahidin) yang ingin Syariat Islam diberlakukan di bumi Somalia. Namun pengangkatan Sharif Ahmed sebagai Presiden Somalia disambut dengan skeptis oleh faksi-faksi pejuang lainnya. Pasalnya karena ia dicurigai sebagai ”pemimpin boneka barat”. Terbukti bahwa pengangkatannya saja dilangsungkan di luar bumi Somalia, yaitu di negara tetangga Djibouti.
Lalu dalam rangka merebut hati faksi-faksi pejuang tersebut, maka pemerintahan Sharif Ahmed mengusulkan pemberlakuan Hukum Islam ke Parlemen. Untuk selanjutnya ikuti kutipan berikut:
”Somalia’s parliament unanimously approved Saturday a government proposal to introduce sharia, Islamic law, in the country, in a move aimed at appeasing Islamists waging a civil war since 1991. The approval by parliament was expected since March 10, when the cabinet appointed by new President Sheikh Sharif Ahmed also voted to establish sharia, or Islamic law. Experts said Ahmed’s move undermined guerrillas who have been fighting the government and questioning his Islamic credentials. It would also please wealthy potential donors in Gulf nations.
Experts said Ahmed’s move undermined guerrillas who have been fighting the government and questioning his Islamic credentials. It would also please wealthy potential donors in Gulf nations.
Osman Elimi Boqore, the deputy speaker of parliament, said 343 MPs attended Saturday’s session. “All of them voted ‘yes’ and accepted the implementation of sharia,” he told reporters. “There was no rejection or silence, so from today we have an Islamic government.” (Saturday, 18 April 2009 – Al Arabiya.net/English)
Sepintas, setiap muslim yang cinta akan Islam pasti menyambut berita di atas dengan sukacita. Betapa tidak? Di salah satu bumi Allah akhirnya diresmikan pemberlakuan hukum Islam alias hukum Allah. Tapi, kalau kita renungkan lebih dalam ada suatu permasalahan mendasar dalam kasus di atas. Mungkin untuk kaum muslimin yang menerima faham Demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat, niscaya mereka menerimanya sebagai suatu bukti betapa selarasnya sistem hidup Demokrasi dengan ajaran agama Islam . Mereka tentunya bakal menjadikan kasus Somalia ini sebagai penguat alias hujjah untuk semakin getol menyuarakan dan memperjuangkan Demokrasi sebagai solusi penegakkan Islam di abad modern ini.
Lalu dimana letak masalahnya? Saudaraku, coba ikuti baik-baik ucapan Osman Elimi Boqore, the deputy speaker of parliament. Ia mengatakan bahwa “…seluruh anggota memberikan suara “Iya” dan dapat menerima pemberlakuan Syariah…” Laa haula wa laa quwwata illa billah…! Coba renungkan kembali, saudaraku…! Betapa teganya mereka melakukan voting terhadap ide pemberlakuan Hukum Islam alias Hukum Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Perkasa…! Patutkah manusia yang diciptakan Allah kemudian menggelar sebuah majelis yang di dalamnya diajukan proposal mengenai perlu-tidaknya Hukum Allah diberlakukan? Baiklah, boleh jadi hasil yang muncul dalam kasus Somalia adalah 100% mendukung pemberlakuannya. Tapi tidakkah terfikir betapa sombong dan kurang ajarnya manusia-manusia yang hadir di dalam majelis tersebut sehingga sempat berani mempertanyakan kepada forum apakah mereka setuju atau tidak setuju akan pemberlakuan Hukum Allah?
Saudaraku, di sinilah letak inti permasalahan yang membedakan sistem Demokrasi dengan Sistem Islam. Di dalam sistem Demokrasi para wakil rakyat diberikan wewenang sedemikian besarnya sampai mereka diperkenankan untuk mempertanyakan apakah hukum bikinan Pencipta jagat raya patut atau tidak patut diberlakukan di tengah masyarakat. Sedangkan di dalam sistem Islam perkara ini sudah sangat jelas. Para wakil rakyat (baca: Ahlul halli wal aqd) hanya bertugas mem-breakdown Hukum Allah dalam implementasi riil. Sedangkan posisi awalnya ialah seluruh anggota Majelis Syuro wajib bersikap tunduk kepada Allah dan segala apa yang datang dari Allah.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ
الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”(QS Al-Ahzab ayat 36)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”(QS Al-Maidah ayat 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”(QS Al-Maidah ayat 45)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Maidah ayat 47)
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ
أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ
وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
”Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (QS An-Nisa ayat 60-61)
Pantaslah bilamana ada seorang pakar yang mengistilahkan sistem Demokrasi sebagai sebuah sistem yang fondasi dasar pemahamannya diwakili oleh kalimat ”Menuhankan manusia dan memanusiakan tuhan.” Dalam sistem Demokrasi aturan atau hukum Allah bisa ditawar-tawar seperti tawar-menawar dengan sesama manusia di pasar. Sedangkan bila keputusan sekumpulan manusia telah disepakati, maka sistem Demokrasi mewajibkan semua warga untuk tunduk-patuh kepada kesepakatan itu seolah ia seperti wahyu yang turun dari Tuhan. Wallahu a’laam bish-showwaab.-
Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hambaMu yang senantiasa tunduk kepadaMu. Jauhkanlah kami dari virus kesombongan sehingga kami tidak menolak hukum dan syariatMu dan tidak memandang hukum bikinan manusia sebagai hal yang lebih adil dan lebih bijaksana daripada dien-Mu. Amin ya Rabb.

Jika Iman Kepad Alloh harus Ingkar kepada thogut

Menjadi seorang muslim adalah menjadi seorang muwahhid (ahli Tauhid). Tauhid merupakan pesan abadi para utusan Allah سبحانه و تعالى kepada umat manusia dari zaman ke zaman.
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاأَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” (QS. An-Nahl [16] : 36)
Pesan ini dibawa oleh setiap Nabi dan Rasul Allah sepanjang masa. Setiap umat telah mendengar pesan abadi para Rasul Allah ini. Suatu pesan yang ibarat coin bersisi ganda. Ada sisi keharusan menyembah Allah سبحانه و تعالى semata dan sisi lainnya ialah menjauhi Thaghut.
Adapun menurut istilah syariat, definisi yang terbaik adalah yang disebutkan Ibnul Qayyim rahimahullah“(Thaghut) adalah setiap sesuatu yang melampui batasannya, baik yang disembah (selain Allah Subhanahu wa Ta’ala), atau diikuti atau ditaati (jika dia ridha diperlakukan demikian).”
Definisi lain, thaghut adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Allah (dalam keadaan dia rela). Menurut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah di dalam kajiannya mengenai Tauhid bahwa Thaghut itu mencakup banyak hal. Namun pimpinannya ada lima, yaitu:
  1. Iblis atau syetan
  2. Penguasa yang zalim
  3. Orang yang memutuskan perkara dengan aturan selain apa yang telah Allah سبحانه و تعالى turunkan
  4. Orang yang mengaku mengetahui perkara yang ghaib selain Allah سبحانه و تعالى
  5. Orang yang diibadati selain Allah dan dia rela dengan peribadatan itu.
Orang tidak dikatakan beriman kepada Allah sehingga dia kufur (ingkar) kepada thaghut, sebab kufur kepada thaghut adalah separuh dari kalimat Tauhid لآ إله إلا الله. Dan ingkar kepada thaghut harus mencakup segala jenis thaghut, bukan sebagian saja. Bila seorang muslim beriman kepada Allah سبحانه و تعالى seraya mengingkari segala bentuk thaghut yang ada, niscaya sempurnalah imannya. Ia disebut seorang muwahhid (ahli Tauhid) sejati.
مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُوَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُمِنْ دُونِ اللَّهِ حَرُمَ مَالُهُوَدَمُهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ
Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda: “Barangsiapa mengucapkan Laa ilaha illa Allah dan ingkar terhadap penghambaan kepada selain Allah, maka terpeliharalah hartanya, darahnya dan hisabnya (perhitungan amalnya) terserah Allah.” (HR. Muslim 1/119)
Jadi, utuhnya Tauhid seorang muslim adalah ketika berpadu di dalam dirinya keimanan akan Allah سبحانه و تعالى dibarengi dengan berlepas dirinya dari penghambaan kepada apapun atau siapapun selain Allah سبحانه و تعالى alias thaghut. Inilah yang sering disebut dengan pasangan al-wala’ (loyalitas/kesetiaan) dan al-bara’ (disasosiasi/berlepas diri). Tidak dikatakan beriman seorang yang mengaku muslim bila ia hanya wala’ kepada Allah سبحانه و تعالى namun tidak bersedia untuk bara’ dari thaghut. Perumpamaannya seperti seorang yang ingin sehat dan bugar tetapi dengan jalan memakan makanan yang menyehatkan, bergizi lagi mengandung nutrisi tinggi sambil tetap membiarkan diri mengkonsumsi makanan-makanan yang mengandung racun, toxic dan merusak tubuh. Bagaimana ia akan benar-benar menjadi sehat dan bugar? Mustahil.
Demikian pula dengan seorang muslim yang ingin diterima Allah سبحانه و تعالى . Mustahil hal itu akan bisa terwujud bila di satu sisi ia menyerahkan wala’-nya kepada Allah سبحانه و تعالى , mengaku meyakini kebenaran ajaran dienullah Al-Islam serta menjadikan Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم sebagai teladan namun pada saat yang sama ia tetap menyerahkan wala’-nya juga kepada pihak thaghut, meyakini kebenaran ideologi, aturan dan hukum thaghut serta menokohkan para sosok pemimpin thaghut dalam kehidupan sehari-hari. Mustahil keinginannya untuk diterima Allah سبحانه و تعالى sebagai seorang muslim alias hamba yang menyerahkan diri kepada Allah سبحانه و تعالى bakal tercapai….! Itulah rahasianya mengapa setiap khutbah jumat para khotib dari atas mimbar senantiasa mewasiatkan jamaah untuk bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa kepada Allah سبحانه و تعالى . Karena hanya dengan itulah seorang manusia berpeluang untuk menemui ajal dalam keadaan menjadi seorang muslim.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّتُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai muslim.” (QS. Ali-Imran [3] : 102)
Seorang muslim yang di satu sisi ber-wala’ kepada Allah سبحانه و تعالى namun di lain sisi juga ber-wala’ kepada thaghut adalah seorang muslim yang berdusta. Sebab pihak yang ber-wala’ kepada thaghut berarti menjadikan thaghut tersebut menjadi wali-nya (pemimpin, pelindung dan penolongnya). Dan itu berarti ia tidak bisa disebut seorang yang beriman. Padahal ia tidak mau disebut sebagai seorang kafir. Di dalam Al-Qur’an Allah سبحانه و تعالى menyatakan bahwa yang ber-wala’ kepada Allah سبحانه و تعالى berarti menjadikan Allah سبحانه و تعالى sebagai Wali-nya (pemimpin, pelindung dan penolongnya). Dan mereka itulahlah orang-orang yang beriman. Sedangkan yang ber-wala’ kepada thaghut adalah kaum kafir. Bagaimana mungkin di dalam diri satu orang ada dua identitas yang bertolak-belakang? Mustahil.
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوايُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِإِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُالطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَالنُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). (QS. Al-Baqarah [2] : 257)
Manusia yang bersikap ganda dalam menyerahkan wala’-nya berarti telah mendustakan pengakuan dirinya sebagai seorang yang beriman. Bagaimana bisa ia di satu sisi ber-Wali-kan Allah سبحانه و تعالى tetapi pada saat yang bersamaan ber-wali-kan thaghut? Bagimana mungkin di satu sisi ia ingin hidup dalam cahaya (iman) yang terang benderang padahal setiap saat ia justeru semakin menuju kepada kegelapan (kekafiran)? Sungguh, ia adalah seorang pendusta…! Inilah sebabnya Allah سبحانه و تعالى tidak membiarkan manusia sekadar mengaku kalau dirinya beriman lalu tidak mengalami ujian lebih lanjut. Ujian di dalam kehidupan di dunia merupakan sarana untuk menyingkap siapa yang jujur dalam pengakuan keimanannya dan siapa yang berdusta.
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُواأَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَوَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْفَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَصَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut [29] : 2-3)
Dewasa ini kita sedang menjalani era penuh fitnah (ujian). Belum pernah ummat Islam mengalami era yang lebih pahit daripada era sekarang. Bayangkan…! Allah سبحانه و تعالى menguji kaum beriman dengan mengizinkan kepemimpinan dunia secara global diserahkan kepada kaum kuffar. Berarti perjalanan dunia dewasa ini sedang disetir oleh para thawaghit (bentuk jamak dari kata thaghut). Aturan dan hukum yang diberlakukan juga merupakan aturan thaghut hasil rumusan para thaghut. Sementara aturan dan hukum Allah سبحانه و تعالى tidak diizinkan untuk diberlakukan, malah dilabel sebagai aturan yang kuno, tidak sesuai dengan zaman modern dan dipandang zalim. Na’udzubillaaahi min dzaalika…!
Hampir setiap hari kita dengar kabar bahwa di Amerika serta Eropa kaum kuffar dan para pemimpinnya menolak the Shariah Law(syariat hukum Allah سبحانه و تعالى). Kalau itu hanya terjadi di negeri-negeri mereka, kita masih bisa maklumi. Tetapi pahitnya, hal ini sudah menjadi trend (kecenderungan umum) di negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim juga. Tidak sedikit kaum muslimin yang terang-terangan menolak diberlakukannya syariat hukum Allah سبحانه و تعالى . Dia mengaku ber-Wali-kan Allah سبحانه و تعالى tetapi ia lebih rela tunduk kepada hukum thaghut..! Kondisi dan derajat ujian yang ummat Islam hadapi dewasa ini sudah sangat mirip dengan gambaran hadits Nabi صلى الله عليه و سلم sebagai berikut:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْشِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍحَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِيجُحْرِ ضَبٍّلَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِآلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda: “Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak pun kalian pasti akan mengikuti mereka.” Kami bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka.” (HR. Muslim 4822)
Kita tidak bisa pungkiri bahwa kepemimpinan global dunia sedang di tangan masyarakat barat. Mereka tidak lain merupakan the Judeo-Christian Civilization (peradaban Yahudi-Nasrani). Kemudian kita saksikan begitu banyak kaum muslimin beserta para pemimpinnya mengekor kepada peradaban mereka dalam hampir segenap aspek kehidupan di dunia. Padahal sikap demikian sama saja dengan sikap wala’ ganda. Di satu sisi ingin ber-Wali-kan Allah سبحانه و تعالى tetapi di lain sisi membiarkan diri juga menjadikan thaghut sebagai wali pula. Allah سبحانه و تعالى jelas-jelas melarang hal ini. Malah Allah سبحانه و تعالى menggambarkan mereka yang bersikap demikian sama saja telah menjadi bahagian dari golongan mereka, yang berarti keluar dari identitas sebagai kaum muslimin….!
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوالا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىأَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍوَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْإِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-walimu (pemimpin-pemimpinmu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5] : 51)
Dan mereka yang mengekor kepada kaum kuffar —baik dari kalangan ahli Kitab maupun kaum musyrikin— berarti telah menyediakan kehidupannya untuk diatur berdasarkan hukum thaghut padahal mereka mengaku beriman….!
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَأَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَوَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِوَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِوَيُرِيدُ الشَّيْطَانُأَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa [4] : 60)
Sungguh, setelah memperhatikan berbagai peringatan dan penjelasan Allah سبحانه و تعالى di atas yang begitu terang, hanya satu pertanyaan yang menggelayut di fikiran seorang muslim-muwahhid sejati: mengapa gerangan masih ada orang yang mengaku dirinya muslim namun tidak mau mengingkari thaghutWallahu a’lam bish-showwaab.