Pada tahun 1946 Kahar Muzakar (Panglima Hisbullah dari Sulawesi) dikirim ke Yogya (Ibukota RI) untuk menghimpun kekuatan rakyat. Saat itu Panglima Hisbullah Kalimantan adalah Hasan basri, yang berpusat di Banjarmasin . Sedangkan Panglima Nusatenggara adalah Ngurah Rai yang berpusat di Bali .
Sedangkan Kartosoewirjo adalah Panglima Hisbullah Jawa Barat. Ia terus berjuang melawan penjajah Belanda.Pada 17 Januari tahun 1948, ketika terjadi Perjanjian Renville
(di atas kapal Renville) daerah yang dikuasi rakyat Indonesai semakin
kecil, karena daerah inclave harus dikosongkan. Kartosoewirjo tidak mau
mengosongkan Jawa Barat, maka timbullah pemberontakan Kartosoewirjo
tahun 1948 melawan Belanda.
Kala itu Kartosoewirjo selain harus menghadapi Belanda juga menghadapi mantan tentara KNIL yang sudah bergabung ke TRI yang kala itu mereka baru saja kembali dari Yogyakarta .
Kartosoewirjo
yang berjuang melawan Belanda dalam rangka mempertahankan Jawa Barat
karena dia adalah Panglima Divisi Jawa Barat, justru dicap pemberontak oleh Soekarno, sehingga dihukum mati pada 1962.
Menurut Dr. Bambang Sulistomo, putra pahlawan kemerdekaan Bung Tomo, tuduhan pemberontak kepada Kartosoewirjo dinilai bertentangan dengan fakta sejarah.
“Menurut
kesaksian almarhum ayah saya, yang ditulisnya dalam sebuah buku kecil
berjudul HIMBAUAN, dikatakan bahwa pasukan Hizbullah dan Sabilillah,
menolak perintah hijrah ke Yogyakarta sebagai pelaksanaan isi perjanjian
Renvile; dan memilih berjuang dengan gagah berani mengusir penjajah
dari wilayah Jawa Barat. Keberadaan mereka di sana adalah atas
persetujuan Jenderal Soedirman dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada
saat clash Belanda kedua, pasukan TNI kembali ke Jawa Barat dan merasa
lebih berhak menguasai wilayah yang telah berhasil direbut dengan
berkuah darah dari tangan penjajah oleh pasukan Hizbullah dan Sabilillah
di bawah komando SM Kartosoewirjo. Karena tidak dicapai kesepakatan,
maka terjadilah pertempuran antara pasukan Islam dan tentara republik
tersebut…” (Lihat Buku “FAKTA Diskriminasi Rezim Soeharto Terhadap Umat Islam”, 1998, hal. xviii).
Sehubungan dengan hal tersebut, Prof. Dr. Deliar Noor berkomentar: “Kesaksian
almarhum ayah saudara itu, persis seperti kesaksian Haji Agoes Salim
yang disampaikan di Cornell University Amerika Serikat, tahun 1953.
Memang perlu penelitian ulang terhadap sejarah yang ditulis sekarang…“
Pada buku berjudul “Menelusuri Perjalanan Jihad SM Kartosuwiryo” (Juli 1999, hal. xv-xvi), KH Firdaus AN menuliskan sebagai berikut:
“…Setelah
perjanjian Renville ditandatangani antara Indonesia dan Belanda pada
tanggal 17 Januari 1948, maka pasukan Siliwangi harus `hijrah’ dari Jawa
Barat ke Yogyakarta, sehingga Jawa Barat dikuasai Belanda. Jelas
perjanjian itu sangat merugikan Republik Indonesia . Waktu itu Jenderal
Sudirman menyambut kedatangan pasukan Siliwangi di Stasiun Tugu
Yogyakarta . Seorang wartawan Antara yang dipercaya sang Jendral diajak
oleh beliau naik mobil sang Panglima TNI itu….“
“…Di
atas mobil itulah sang wartawan bertanya kepada Jendral Sudirman:
`Apakah siasat ini tidak merugikan kita?’ Pak Dirman menjawab, `Saya
telah menempatkan orang kita disana`, seperti apa yang diceritakan oleh wartawan Antara itu kepada penulis.
“…Bung
Tomo, bapak pahlawan pemberontak Surabaya, 10 November dan mantan
menteri dalam negeri kabinet Burhanuddin Harahap, dalam sebuah buku
kecil berjudul `Himbauan’, yang ditulis beliau pada tanggal 7 September
1977, mengatakan bahwa Pak Karto (Kartosuwiryo, pen.) telah mendapat
restu dari Panglima Besar Sudirman…“
“…Dalam
keterangan itu, jelaslah bahwa waktu meninggalkan Yogyakarta pada tahun
1948 sebelum pergi ke Jawa Barat, beliau (Kartosuwiryo) pamit dan minta
restu kepada Panglima Besar TNI itu dan diberi restu seperti keterangan
Bung Tomo tersebut.
Dikatakan
dengan keterangan Jenderal Sudirman kepada wartawan Antara di atas
tadi, maka orang dapat menduga bahwa yang dimaksud `orang kita’ atau
orangnya Sudirman itu, tidak lain adalah Kartosuwiryo sendiri. Apalagi
kalau diingat bahwa waktu itu Kartosuwiryo adalah orang penting dalam
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia yang pernah ditawari menjadi
Menteri Muda Pertahanan, tetapi ditolaknya. Jabatan Menteri Muda
Pertahanan itu ternyata kemudian diduduki oleh sahabat beliau sendiri, Arudji Kartawinata.
Dapatlah dimengerti, kenapa Panglima Besar Sudirman tidak memerintahkan
untuk menumpas DI /TII; dan yang menumpasnya adalah Jenderal AH
Nasution dan Ibrahim Adji. Alangkah banyaknya orang Islam yang mati
terbunuh oleh Nasution dan Ibrahim Adji! Apakah itu bukan dosa…?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar