aqua

Jumat, 02 Mei 2014

HUKUM ISLAM, HUKUM TERBAIK SEPANJANG MASA

Dengan nama Alloh yang maha pengasih lagi Maha penyayang

Saudara-saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allah, tulisan kali ini merupakan pembahasan mengapa agama Islam menganjurkan untuk berhukum kepada hukum Islam dan bukan kepada hukum lain atau undang-undang buatan manusia.
Allah SWT berfirman melalui Kitabullah:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah, mereka itulah orang-orang kafir.” (Al Maidah: 44)
Ayat di atas merupakan teguran yang serius kepada siapapun yang berhukum kepada hukum selain hukum yang telah Allah jelaskan melalui Al Quran dan lisan Nabi-Nya. Penyebab turunnya ayat yang mulia di atas mengenai kejadian di mana ada laki-laki dan perempuan Yahudi berzina lalu wajah mereka di hitamkan dan diarak-arak keliling kota. Sebagian di antara kaum Yahudi tersebut melaporkan kasus itu kepada Rasulullah SAW. Justru Rasulullah memerintahkan untuk menghukum pezina tersebut sesuai dengan hukuman yang telah ditetapkan di Taurat, yakni rajam. Ketika didatangkan Taurat ke hadapan Nabi dan dibacakan, ternyata benar bahwa hukuman bagi pezina bagi Yahudi adalah hukuman rajam (kisah ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dan disepakati Ibnu Abbas dalam Umdadut Tafsir, IV/148-155 karya Ibnu Katsir).
Kaum Yahudi tersebut mengganti hukuman rajam dengan menghitamkan muka dan mengarak-arak keliling kota. Ini berarti mereka telah memutuskan perkara dengan selain apa yang diturunkan Allah, maka Allah memvonis mereka sebagai kafir. Mengenai makna “kafir” dalam ayat tersebut, bukanlah bermakna kufrun duuna kufrin, akan tetapi bermakna kufur akbar (silakan rujuk buku Al Jami Fi Thalabil Ilmisy Syarif karya Adbul Qadir bin Abdul Aziz, Imtaa’un Nazhar fi Kasyfi Syubuhaati Murjiatil Ashr karya Abu Muhammad Al Maqdisi, dan Alla Inna Nashrallahi Qarib karya Sulaiman Nashr Al Alwan) seperti yang telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya (lihat kategoriknowledge tentang Al Maidah 44).
Ibnu Taimiyah berkata:
“Berhukum dengan hukum Allah adalah wajib bagi para Nabi dan pengikutnya. Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah, maka dia kafir.” (Minhajus Sunnah Nabawiyah, 3/23)
Syaikh Al Albani berkata mengenai hukum:
”Bahwa di antara ushul dakwah salafiyah itu adalah al hakimiyah adalah milik Allah saja.” (As Silisilah As Shahihah, hal. 30)
Lantas ada pertanyaan seperti apa contoh kasus dalam mengganti hukum Islam menjadi hukum buatan manusia yang terjadi di Indonesia? Kurang lebih inilah realitanya:
  1. “Pezina laki-laki dan pezina perempuan, maka deralah (cambuk) masing-masing keduanya seratus kali.” (An Nuur: 2)
  2. Menurut KUHP pasal 284, pelaku zina dipidana paling lama 9 bulan.
Jelas sekali perbedaannya…
Allah SWT berfirman juga:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum mana yang lebih baik daripada hukum Allah?” (Al Maidah: 50)
Ayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa Allah mempertanyakn apa ada hukum lain yang lebih baik dari hukum yang telah Dia tetapkan. Sesungguhnya ayat ini bisa dengan jelas dipahami oleh orang yang berakal.
Allah SWT berfirman:
“Menetapkan hukum hanyalah hak Allah.” (Al An’am: 57)
Allah SWT juga berfirman:
“Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menerapkan hukum.” (Al Kahfi: 26)
Ayat di atas menerangkan bahwa Allah berkuasa membuat hukum dan tidak ada yang ikut campur dalam pembuatannya. Tentunya hal ini bertolak belakang dengan asas demokrasi dimana slogan yang paling sering didengungkan adalah:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945)
Allah SWT berfirman:
“Mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu.” (An Nisa: 60)
Ibnu Katsir mengkomentari ayat tersebut:
”Sesungguhnya ayat ini mencela siapa saja yang berpaling dari Kitabullah dan Sunnah lalu berhukum kepada selain keduanya.” (Tafsir Al Quranul Azhim, 1/51)
Apakah definisi thaghut itu?
Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab menyebutkan bahwa thaghut ada 5:
  1. Syetan yang menyeru agar beribadah kepada selain Allah SWT, dalilnya: ”Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan? Sungguh setan itu musuh yang nyata bagimu.” (Yassin: 60)
  2. Penguasa yang menrubah hukum Allah SWT, dalilnya: ”Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut.” (An Nisa: 60)
  3. Mereka yang berhukum selain dengan hukum Allah, dalilnya: ”Barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah, mereka itulah orang-orang kafir.” (Al Maidah: 44)
  4. Mereka yang mengaku mengetahui perkara ghaib (dukun, paranormal), dalilnya: ”Allah mengetahui yang gaib, dan Dia tidak memperlihatkan kepada siapapun tentang yang gaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya.” (Al Jinn: 26-27)
  5. Orang yang diibadahi selain Allah dan dia ridha dengan hal itu, dalilnya: ”Barangsiapa di antara mereka mengatakan: ’Sesungguhnya aku adalah Tuhan selain Allah,’ maka orang itu Kami berikan balasan berupa Jahannam” (Al Anbiya: 29). (Majmua’tut Tauhid, hal. 260)
Syaikh Sulaiman Bin Salman An Najd berkata:
”Thaghut terdapat tiga jenis: thaghut hukum, thaghut ibadah, dan thaghut ketaatan.” (Ad Durar As Saniyah, 8/282)
Syaikh Muhammad Hamid Al Faqii berkata:
”Undang-undang itu sendiri sudah merupakan thaghut, orang-orang yang membuat dan memberlakukannya adalah thaghut.” (Fathul Majid Syarah Kitab Tauhid, hal.287)
Ibnu Qayyim berkata:
”Thaghut adalah setiap kaum yang mereka berhukum kepadanya selain kepada Allah dan Rasul-Nya, atau yang diibadahi selain Allah.” (I’laamul Muwaqqi’in, 1/50)
Maka sudah jelas bahwa thaghut itu bisa berwujud setan maupun pemerintah yang memberlakukan hukum selain hukum yang Allah turunkan. Lalu bagaimana sikap kita terhadap pemerintah yang seperti ini?
Rasulullah bersabda:
”Barangsiapa melihat sesuatu yang membuatnya benci dari diri penguasanya, maka hendaklah dia bersabar, karena barangsiapa memisahkan dari dari ulil amrinya walau hanya sejengkal lalu dia mati, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” (Bukhari-Muslim)
Hadist tersebut adalah larangan untuk memberontak kepada penguasa Islam, lalu bagaimana sikap terhadap penguasa yang bukan Islam?
Ubadah bin Shamit berkata:
”Nabi memanggil kami lalu kami berbai’at kepadanya untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan susah maupun senang. Dan agar kami tidak menggulingkan pemerintah dari kekuasaannya. Beliau bersabda: ’Kecuali kalau kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian memiliki alasan dari Allah’.” (Muslim)
Ibnu Hajar berkata:
”Jika terjadi kekafiran yang nyata dari penguasa, maka ketika itulah kalian tidak boleh mentaatinya, bahkan wajib berjihad melawannya bagi yang mampu.” (Fathul Bari, 7/13)
Apakah Indonesia merupakan negara Islam?
Ibnu Qayyim berkata:
”Darul Islam (negara Islam) adalah negara yang dikuasai kaum muslimin dan hukum islam berlaku di dalamnya.” (Ahkamu Ahli Dzimmah, 1/268)
Imam Al Kasaani berkata:
”Sesungguhnya setiap negara itu disandarkan kepada Islam atau kafir. Dikatakan bersandar kepada Islam apabila hukum-hukum Islam berlaku didalam negara tersebut. Sebaliknya dikatakan kafir jika dalam negara tersebut berlaku hukum kafir.” (Badaa’ius Shanaa’i, 9/4375)
Melalui perkataan dua ulama tersebut, maka kaum muslimin yang dirahmati Allah tentu bisa mengambil jawabannya. Ada petikan hadist menarik tentang mematuhi pemerintah thaghut yang berarti sama dengan menyembahnya.
Adi bin Hatim dulunya adalah seorang pemuka Nasrani, ia masuk Islam tahun 9 H. Dia datang kepada Rasulullah setelah saudara perempuannya, Sufanah, dibebaskan oleh Nabi. Ketika Adi bin Hatim menemui Nabi dan masuk Islam, ia masih mengenakan kalung salib di dadanya, Rasulullah berkata kepadanya, ”Buanglah berhala di lehermu wahai Adi,” maka iapun membuangnya. Lalu Adi bin Hatim menceritakan kisahnya: Aku mendengar Nabi membaca ayat: ”Mereka (Yahudi dan Nasrani) menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai sesembahan selain Allah” (At Taubah: 31), maka aku berkata kepadanya: ”Ya Nabi, mereka tidak menyembahnya.” Nabi menjawab: ”Tetapi bukankah mereka mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah untuk para pengikutnya?” Aku menjawab: ”Benar.” Nabi berkata: ”Maka itulah bentuk penyembahan kepada mereka.” (Riwayat Thabrany)
Hadist tersebut mengungkapkan bahwa seseorang bisa dianggap telah menyembah selain Allah walaupun mereka tidak berniat menyembahnya. Jika pemimpin mereka mengharamkan apa yang dihalalkan atau sebaliknya menghalalkan yang diharamkan Allah dan pengikutnya mematuhinya, maka secara tidak sadar ia telah menyembah pemimpinnya itu. Sebagai contoh, mengenakan jilbab bagi wanita adalah wajib untuk menutup aurat, jika tidak menutup auratnya tersebut maka wanita itu berdosa. Haram hukumnya untuk tidak berjilbab. Tapi di Indonesia wanita muslim yang tidak berjilbab tidak dihukum dan dikenakan sanksi apa-apa. Seolah-olah pemerintahan ini menghalalkan untuk tidak mewajibkan memakai jilbab. Maka jika kita mematuhi hukum yang dibuat negara ini, maka kita diibaratkan sama dengan menyembah penguasa.
Akhir kata, semoga tulisan kali ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian sebagai tambahan ilmu. Adapun kesalahan yang terdapat didalamnya berasal dari kami sebagai makhluk yang dha’if
Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar