Sistem demokrasi bertumpu kepada rakyat sebagai pemangku kedaulatan.
Sedangkan sistem kerajaan bertumpu kepada kedaulatan di tangan satu
orang, yaitu sang raja atau emir. Kedua-duanya jelas tidak on-line
dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam kedaulatan sepenuhnya di tangan
Allah. Oleh karena itu pemimpin di dalam masyarakat Islam dijuluki
Khalifah alias wakil. Seorang khalifah tidak dibenarkan untuk memimpin
dengan anggapan bahwa dirinyalah yang berkuasa penuh. Ia harus selalu
mengingat bahwa yang berkuasa pada hakekatnya Allah dan jika dirinya
ingin dinilai memimpin dengan amanah berarti ia harus tunduk sepenuhnya
kepada Hukum dan Kekuasaan Allah. Seorang khalifah tidak dibenarkan
menjadi penentu legal dan illegalnya suatu urusan. Sebab penentuan akan
hal ini sepenuhnya hak Allah. Dalam sistem kerajaan maka raja adalah
penentu benar-salahnya suatu urusan.
Sehingga pernah terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Khattab seorang
wanita memprotes kebijakan beliau yang memerintahkan kaum wanita agar
membatasi nilai mahar yang ditetapkan kepada lelaki yang datang melamar.
Alasan pembatasan itu, menurut Umar, karena sedang terjadi resesi ekonomi
(masa paceklik). Lalu wanita tadi membacakan ayat Al-Qur’an di mana
Allah memberikan kebebasan wanita untuk menetapkan nilai maharnya ketika
dilamar. Maka Khalifah Umar langsung bekata: ”Astaghfirullah… Wanita itu benar dan Umar salah. Dengan ini saya cabut kebijakan yang baru saja saya keluarkan!”
Subhanallah….! Bayangkan, seorang pemimpin tertinggi rela mencabut
kebijakan yang baru saja ia keluarkan hanya karena protes seorang
warga-negara berupa seorang wanita! Tetapi, masalahnya di sini ialah
bahwa wanita tersebut ber-hujjah dengan bersandar kepada Yang
Maha Kuasa. Sehingga sang khalifah tidak bisa bersikap selain tunduk
kepada hujjah wanita tersebut. Sebab pada hakikatnya Umar bukan sedang
tunduk kepada wanita itu, melainkan ia tunduk kepada Allah Yang Maha
Tinggi lagi Maha Benar. Hal ini selaras dengan arahan Allah mengenai
bagaimana sepatutnya seorang yang menjadi bagian dari ulil amri minkum memimpin masyarakat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri minkum (para pemimpin di antara kalian). Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS AnNisa ayat 59)
Pemimpin tertinggi dalam sistem Islam berkewajiban menegakkan budaya
mengembalikan segenap urusan kepada Allah (Al-Qur’an) dan RasulNya
(As-Sunnah). Bila sang pemimpin itu sendiri lupa, maka masyarakat berhak
sekaligus berkewajiban mengingatkan pemimpin tersebut untuk kembali
kepada Allah dan RasulNya. Dan seorang pemimpin adil lagi berjiwa amanah
seperti Umar bin Khattab rela mengalahkan egonya daripada menentang
Allah dan RasulNya. Sebab pada asalnya setiap orang beriman selalu
mengarahkan egonya untuk tunduk kepada Allah.
Beberapa waktu yang lalu Somalia mengangkat seorang pemimpin yang
berasal dari salah satu faksi ”Islamic Court”. Faksi ini dikenal sebagai
salah satu faksi pejuang Islam (mujahidin) yang ingin Syariat Islam
diberlakukan di bumi Somalia. Namun pengangkatan Sharif Ahmed sebagai
Presiden Somalia disambut dengan skeptis oleh faksi-faksi pejuang
lainnya. Pasalnya karena ia dicurigai sebagai ”pemimpin boneka barat”.
Terbukti bahwa pengangkatannya saja dilangsungkan di luar bumi Somalia,
yaitu di negara tetangga Djibouti.
Lalu dalam rangka merebut hati faksi-faksi pejuang tersebut, maka
pemerintahan Sharif Ahmed mengusulkan pemberlakuan Hukum Islam ke
Parlemen. Untuk selanjutnya ikuti kutipan berikut:
”Somalia’s parliament unanimously approved Saturday a government
proposal to introduce sharia, Islamic law, in the country, in a move
aimed at appeasing Islamists waging a civil war since 1991. The
approval by parliament was expected since March 10, when the cabinet
appointed by new President Sheikh Sharif Ahmed also voted to establish
sharia, or Islamic law. Experts said Ahmed’s move undermined guerrillas
who have been fighting the government and questioning his Islamic
credentials. It would also please wealthy potential donors in Gulf
nations.
Experts said Ahmed’s move undermined guerrillas who have been
fighting the government and questioning his Islamic credentials. It
would also please wealthy potential donors in Gulf nations.
Osman Elimi Boqore, the deputy speaker of parliament, said 343 MPs
attended Saturday’s session. “All of them voted ‘yes’ and accepted the
implementation of sharia,” he told reporters. “There was no rejection or
silence, so from today we have an Islamic government.” (Saturday, 18 April 2009 – Al Arabiya.net/English)
Sepintas, setiap muslim yang cinta akan Islam pasti menyambut berita
di atas dengan sukacita. Betapa tidak? Di salah satu bumi Allah akhirnya
diresmikan pemberlakuan hukum Islam alias hukum Allah. Tapi, kalau kita
renungkan lebih dalam ada suatu permasalahan mendasar dalam kasus di
atas. Mungkin untuk kaum muslimin yang menerima faham Demokrasi sebagai
suatu sistem bermasyarakat, niscaya mereka menerimanya sebagai suatu
bukti betapa selarasnya sistem hidup Demokrasi dengan ajaran agama Islam
. Mereka tentunya bakal menjadikan kasus Somalia ini sebagai penguat
alias hujjah untuk semakin getol menyuarakan dan memperjuangkan Demokrasi sebagai solusi penegakkan Islam di abad modern ini.
Lalu dimana letak masalahnya? Saudaraku, coba ikuti baik-baik ucapan Osman Elimi Boqore, the deputy speaker of parliament. Ia mengatakan bahwa “…seluruh anggota memberikan suara “Iya” dan dapat menerima pemberlakuan Syariah…” Laa haula wa laa quwwata illa billah…! Coba renungkan kembali, saudaraku…! Betapa teganya mereka melakukan voting
terhadap ide pemberlakuan Hukum Islam alias Hukum Allah Yang Maha
Tinggi lagi Maha Perkasa…! Patutkah manusia yang diciptakan Allah
kemudian menggelar sebuah majelis yang di dalamnya diajukan proposal
mengenai perlu-tidaknya Hukum Allah diberlakukan? Baiklah, boleh jadi
hasil yang muncul dalam kasus Somalia adalah 100% mendukung
pemberlakuannya. Tapi tidakkah terfikir betapa sombong dan kurang
ajarnya manusia-manusia yang hadir di dalam majelis tersebut sehingga
sempat berani mempertanyakan kepada forum apakah mereka setuju atau
tidak setuju akan pemberlakuan Hukum Allah?
Saudaraku, di sinilah letak inti permasalahan yang membedakan sistem
Demokrasi dengan Sistem Islam. Di dalam sistem Demokrasi para wakil
rakyat diberikan wewenang sedemikian besarnya sampai mereka
diperkenankan untuk mempertanyakan apakah hukum bikinan Pencipta jagat
raya patut atau tidak patut diberlakukan di tengah masyarakat. Sedangkan
di dalam sistem Islam perkara ini sudah sangat jelas. Para wakil rakyat
(baca: Ahlul halli wal aqd) hanya bertugas mem-breakdown Hukum
Allah dalam implementasi riil. Sedangkan posisi awalnya ialah seluruh
anggota Majelis Syuro wajib bersikap tunduk kepada Allah dan segala apa
yang datang dari Allah.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ
الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”(QS Al-Ahzab ayat 36)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”(QS Al-Maidah ayat 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”(QS Al-Maidah ayat 45)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Maidah
ayat 47)
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ
أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ
وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
”Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya
telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal
mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila
dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah
telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang
munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati)
kamu.” (QS An-Nisa ayat 60-61)
Pantaslah bilamana ada seorang pakar yang mengistilahkan sistem
Demokrasi sebagai sebuah sistem yang fondasi dasar pemahamannya diwakili
oleh kalimat ”Menuhankan manusia dan memanusiakan tuhan.” Dalam
sistem Demokrasi aturan atau hukum Allah bisa ditawar-tawar seperti
tawar-menawar dengan sesama manusia di pasar. Sedangkan bila keputusan
sekumpulan manusia telah disepakati, maka sistem Demokrasi mewajibkan
semua warga untuk tunduk-patuh kepada kesepakatan itu seolah ia seperti
wahyu yang turun dari Tuhan. Wallahu a’laam bish-showwaab.-
Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hambaMu yang senantiasa tunduk
kepadaMu. Jauhkanlah kami dari virus kesombongan sehingga kami tidak
menolak hukum dan syariatMu dan tidak memandang hukum bikinan manusia
sebagai hal yang lebih adil dan lebih bijaksana daripada dien-Mu. Amin
ya Rabb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar