BOLEHKAH MEMINTA PUTUSAN PERKARA KEPADA LEMBAGA SELAIN LEMBAGA ALLOH ??
“Hukum Bertahakum Dengan Pengadilan Yang Menerapkan Hukum Buatan, Dan Pertanyaan Bahwa Dalam Sebagian Tulisan (Kitab) Isinya, Mereka Mengkafirkan Semua Orang Yang Bertahakum Kepada Hukum Buatan, Tanpa Terkecuali.”
Assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh !
Saudara-saudara yang mulia…
Apa hukum bertahakum (berhukum) kepada
pengadilan umum? Ketahuilah bahwa saya meyakini tidak bolehnya hal
tersebut sebagaimana Allah telah berfirman:
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
“Tetapi mereka menginginkan berhukum dengan hukum thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengkufuri thaghut itu.” [QS An Nisa 60].
Namun di samping itu saya sedang
menghadapi masalah, yaitu adanya penyewa rumah yang kemudian
menguasainya, menolak membayar sewa dan tidak mau pergi dari rumah itu,
maka apakah hal yang diperbolehkan untuk mengatasi sengketa dan
melawannya agar ia keluar dari rumah itu?…
Berilah kami fatwa, Jazakumullah Khairan…
Asy Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisi menjawab:
Pertama, kami tambahkan pertanyaan-pertanyaan lain yang masih berkaitan dengan pertanyaan tersebut:
1. Pertanyaan dari Abu Ibrahim… Assalamu’alaikum:
Syaikh kami Abu Muhammad Al Maqdisi, semoga Allah senantiasa menjagamu,
dan kepada para ikhwan yang teguh di atas prinsip tauhid, saya ingin
menanyakan sebuah masalah:
Ana adalah orang yang tinggal di negeri
di antara negeri-negeri Balkan, Alhamdulillah Allah Ta’ala memberikan
karunia pemahaman Tauhid kepada kami.
…ya Syaikh! Di tempat kami ada sebagian
pemuda menjadi pengikut seorang laki-laki yang berasal dari Austria,
laqabnya Abu Muhammad. Dia punya link (hubungan) dengan seseorang yang
laqabnya Abu Maryam yang berasal dari Kuwait. Saya telah mengetahui
bahwa kedua orang ini telah mengkafirkan para syaikh jihad dan
mujahidin, bahkan hampir seluruhnya. Demikian pula dalam masalah
(perkara) pengembalian hak-hak yang di dapat melalui
pengadilan-pengadilan hukum buatan, keduanya mengkafirkan siapa saja
yang membolehkannya, dan mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan
orang yang membolehkan bertahakum dengan pengadilan hukum-hukum buatan
tadi… Dan ini adalah masalah yang nyata di hadapan kami. Berilah kami
penjelasan!
Dan dua orang ini telah mengkafirkan Asy
Syaikh Aiman Ad Dlawahiri, Syaikh Usamah, termasuk engkau (Syaikh Al
Maqdisi) dan Abu Bashir…
Semoga Allah memberi taufik kepadamu dan kepada kami dengan kecintaan-Nya dan keridlan-Nya!!!
2. Pertanyaan dari Al Mujiro!
Apakah boleh menyampaikan pengaduan
kepada aparat thaghut (polisi), padahal mereka mesti berhukum dengan apa
tidak yang disyariatkan oleh Islam?
Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang bila
ditambahkan maka pertanyaan-pertanyaan tersebut telah mewakili, dan
kesimpulan jawabannya adalah sebagai berikut:
Alhamdulillah washalatu wa salamu ala Rasulillah…
Ketahuilah bahwa, tidak boleh bagi
seorang muslim berhukum kepada pengadilan-pengadilan yang menerapkan
hukum buatan yang menipu!! Walaupun akan lenyap dunianya seluruhnya… hal
ini adalah perkataan ulama-ulama yang terpercaya.
Karena berhukum kepada thaghut menandakan iman kepadanya dan loyal (tawalli) kepadanya, sebagaimana firman Allah ta’ala:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ
“Barangsiapa yang kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah,” [Al Baqarah 256].
Maksudnya adalah: “Berhukum kepada thaghut dengan iman kepadanya” (Fathul Majid, 245).
Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah
rahimahullah dalam majmu’ Fatawa, Beliau berkata: “Diantara bentuk
loyalitas kepada orang kafir yang Allah telah menghinakan dengannya
Ahlul kitab dan para Munafiqin adalah beriman dengan sebagian apa yang
mereka di atasnya dari kekafiran, atau bertahakum kepada mereka dengan
selain kitab Allah. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ
“Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari kitab (Taurat), mereka beriman dengan jibt dan thaghut….” [QS An Nisa: 51]
Syaikh Sulaiman bin Sahman telah berkata:
“Apabila tahakum ini menjadikan seseorang
kafir, maka sangat mengherankan apabila itu terjadi lantaran
mengutamakan dunia, maka bagaimana kamu menjadi kafir karena alasan itu?
Hal itu terjadi karena tidaklah seseorang beriman hingga ia menjadikan
Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari apa saja yang selain keduanya,
dan hingga menjadikan Rasul lebih ia cintai dari anak-anaknya, orang
tuanya dan manusia seluruhnya. Seandainya lenyap duniamu seluruhnya,
maka tidak boleh bagimu mengambil peradilan thaghut karena sebab itu,
seandainya kamu dipaksa dan kamu harus memilih antara bertahakum kepada
thaghut atau kamu mengorbankan duniamu, maka wajib bagimu untuk memilih
mengorbankan duniamu, dan tidak boleh bagimu berhukum kepada thaghut.”
(Ad Durar As Saniyyah, 10/510).
Adalah sebuah kewajiban atau setiap
muslim untuk menjauhi bertahakum kepada hukum-hukum buatan dan berlepas
diri darinya dan siapa yang menjadi pelaku-pelakunya, karena hal itu
bagian dari kufur kepada thaghut, di mana hal itu adalah salah satu
dari rukun tauhid. Oleh karena itu, tidak boleh baginya bertahakum
kepadanya (Hukum-hukum buatan) karena alasan hilangnya dunia, di mana
dunia bukanlah hal yang diudzur (dibolehkan) untuk kemudian kafir kepada
Allah dan beriman kepada thaghut.
Apabila ada yang mengatakan, “Bahwasannya
hal ini akan menjatuhkan manusia dalam kesempitan dan kesusahan.” Maka
kami katakan “Kamu Benar”, tetapi kesempitan itu justru semata-mata
disebabkan tiadanya syari’at Allah dan karena diberlakukannya syari’at
thaghut.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا
“Barangsiapa yang berpaling dari peringatanku, maka sungguh, ia akan menjalani kehidupan yang sempit” [QS Thaha: 124]
Maka berhenti dan sudahilah dari
menjalani kehidupan yang sempit ini, lepaskanlah kesempitan dan
hilangkan kesusahan di mana hal ini bisa dilakukan dengan jalan
menjalani hidup di bawah syari’at Allah, yang mana dengan syari’at
tersebut, akan terjaga hak-hak manusia dan akan terperlihara
kepentingan-kepentingan manusia seluruhnya…
Bukan di bawah naungan seperti thaghut
yang menyia-nyiakan dan menyusahkannya. Lihatlah rincian-rincian hal ini
di kitab kami “Kasyfu Niqob An Syariatil Ghoob”.
Oleh karena itu solusi yang sempurna dan
bermanfaat di mana kaum muslimin kita seru untuk melakukannya adalah
memperbaiki amal dengan sebaik-baiknya, melakukan persiapan-persiapan
dan berjihad untuk mengembalikan hukum syariat di bumi, agar mereka
dapat melaksanakan ibadah kepada Rabb mereka, sebagaimana Rabb mereka
mencintai dan meridlai mereka. Dan agar mereka dapat menunaikan nikmat
penegakan hukum-hukum syari’at dan keadilan Islam, yang mereka lepaskan
darinya ikatan-ikatannya sejak runtuhnya khilafiah…
Hal yang tidak diizinkan adalah dengan
berlindung kepada pengadilan-pengadilan thaghut, dan terus-menerus
bertahakum dengan undang-undang (buatan)nya, membiasakan melakukannya,
dan mempermudah jalan kepadanya.
Karena hal ini adalah kecelakaan/kebinasaan yang sebenarnya dan kerugian yang sangat nyata…
Inilah perkataan kami yang senantiasa
kami sampaikan, bila ada pertanyaan seputar tahakum kepada pengadilan
yang menerapkan undang-undang buatan tidak sedikit yang menyelisihinya,
dan kami tidak pernah menerbitkan sejak dulu fatwa bolehnya bertahakum
kepada thaghut, karena pada asalnya dakwah kami adalah dakwah kepada
penegasan tauhid dengan berjihad melawan thaghut dan berlepas diri dari
Kesyirikan dan tuhan-tuhan tandingan…
1. Kami tidak mengkafirkan masyarakat
awam, yang mana mereka telah dikafirkan oleh sebagian tokoh dari mereka
yang berlebihan dalam takfir. Mereka (masyarakat awam) telah mengambil
fatwa dari selain kami dari para syaikh yang membolehkan bertahakum
kepada pengadilan-pengadilan ini untuk mengembalikan hak-hak dalam
kekuasaan yang melenyapkan syari’at Allah dari sisi Hukum. Dan dalam
kondisi terkuburnya kekuasaan Islam…
Maka hal ini adalah hal yang lain, kami
tidak mengatakan seperti itu dan kami tidak menghalalkannya, sebagaimana
hal itu dipegangi oleh orang-orang yang berlebihan (Ghulat) yang tidak
menyayangi makhluk, dan mereka tidak menegakkan timbangan (cara menilai
yang benar) terhadap masyarakat umum yang hidup tertindas hari ini dari
umat Islam. Serta mereka yang kondisinya terjepit dan terpaksa.
Mereka tidak memahami cara membedakan
antara masalah-masalah yang diterima darinya, seperti penghalang dari
penghalang-penghalang takfir, dan apa yang diterima, yang hal itu bagian
dari cabang syari’at yang diudzur karena kejahilan atau ta’wil yang
keliru di dalamnya.
Sebagaimana Hatib radliyallahu ‘anhu
telah diudzur di dalam ta’wilnya ketika ia menyangka bahwa penguasaan
orang-orang Quraisy terhadap keluarganya adalah hal yang menjepit, atau
diudzur yang membolehkannya untuk menyiarkan rahasia Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya tetap meyakininya dan menolongnya
dan ia merasa perbuatannya tidak membahayakan kaum muslimin.
Dan mereka juga tidak membedakan dalam
masalah hukum atas orang yang berhukum, antara golongan hukum produk
thaghut dan golongan hukum Idary. Mereka tidak bedakan, hingga antara
hal yang di pilih oleh kebanyakan masyarakat dari berhukum kepada apa
yang mereka pandang bersesuaian dengan syari’at Allah dari sebagian
hukum-hukum mereka. Seperti yang disebutkan oleh salah satu penanya yang
pertama (paling awal).
Kamu tidak melihat para Ghulat, mereka
mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, ketika mereka memutlakkan
(takfir total) terhadap orang-orang yang bertahakum dari masyarakat umum
di zaman kita ini, hingga bagi mereka takfir adalah hal yang sangat
longgar, mereka tidak cermat dan mudah mengkafirkan…
Adapun kami, maka kami katakan bahwa
bertahakum kepada thaghut adalah bentuk kekafiran, dan kami mengkafirkan
orang yang bertahakum kepadanya apabila ia bagian dari kelompok
penentang yang punya kekuatan terhadap syari’at Islam dan kekuasaan kaum
muslimin, yang mana kelompok tersebut adalah sebab yang hakiki dalam
penghapusan hukum Allah dan mengganti dengan syari’at thaghut.
Sementara itu, selain penentang yang
punya kekuatan dari kaum muslimin umum yang tertindas (mustad’afin),
maka kami tidak mengingkari apabila ada orang yang menamakan perbuatan
mereka, dan menyifati perbuatan itu bahwa hal itu adalah bentuk tahakum
kepada thaghut, agar lepas dari perbuatan tersebut, dan takut dari
perbuatan itu. Bahkan kami tidak mengingkari apabila ada yang menyifati
perbuatan itu, bahwa itu termasuk perbuatan kekafiran…
Tetapi di sana ada perbedaan antara
takfir terhadap perbuatan dan takfir terhadap pelaku, sebagaimana yang
telah dipahami. Karena hal itu kami tidak takfir pelaku yang bukan
mumtani, hingga terkumpul padanya syarat-syarat takfir dan hilangnya
penghalang-penghalangnya. Sehingga kami tidak takfir terhadap orang awam
dari kaum muslimin yang mustad’afin pada zaman kita ini dengan sebab
tahakum mereka kepada pengadilan umum yang menerapkan hukum buatan.
Karena mereka melakukan hal itu dalam kondisi lenyapnya hukum Allah dan
kekuasaan Islam di bumi dan hal ini tidak sama dengan gambaran sebab
nuzul ayat-ayat yang mengkafirkan orang yang bertahakum kepada thaghut.
Maka wajib memperhatikan hal tersebut, dan memperhatikan sebab istid’af
umum di mana hal itu merupakan lapangan penghalang (takfr) yaitu Ikroh
dan sebab takwil yang mereka lakukan dalam permasalahan ini… silahkan
merujuk untuk menambah rincian dalam bab ini di kitab kami “Ats
Tsalatsiniyah fi tahdzir min akhtai takfir”.
Dan kami berpendapat bahwa siapa yang
tergesa-gesa mentakfir mereka tanpa memperhatikan hal-hal tersebut (di
atas), maka kami pandang ia bagian dari Ghulatul Mukaffirah (Sembrono
takfir) yang mana mereka adalah musuh al haq dan tidak menyayangi
makhluk…
2. Sebagian mereka yang Ghulat, mereka
mengkafirkan dari apa yang menjadi pertanyaan penanya kedua. Dia sekedar
menyampaikan kepada polisi perihal harta yang dicuri, mobil yang dicuri
atau karena kehilangan sesuatu!!! Mereka mengkafirkan setiap orang yang
masuk lingkungan polisi dan mereka mencampur antara masalah tahakum dan
masalah minta pertolongan yang hal ini telah saya ingatkan dalam Kitab
saya yang mengisyaratkan tentang itu. Beserta rincian-rincian di
dalamnya dan bantahan dari saya kepada siapa yang mencampur kedua hal
tersebut, dan tidak boleh mengangkat yang satu dan melupakan yang lain.
Dan orang yang Ghulat, mereka mengkafirkan semua tanpa mencermati dan
mempertimbangkan syarat-syarat takfir oleh penghalang-penghalangnya.
Dengan ini saya telah membantah sebagian yang menjelaskan kepada mereka
dari pertanyaan-pertanyaan. Dan mereka yang menuduhku, bahwa saya tidak
membedakan antara dua hal tersebut (Tahakum dan Istinshar) ini adalah
sesuatu yang sangat mengharamkan!!! Oleh karena itu silahkan penanya
melihat pembahasan masalah ini dalam (kitab) Ats Tsalatsiniyah.
Kesimpulan jawabanku di sini: kita pahami
bahwa bukan berarti kita membenarkan kejadian ini dan kita tidak
memperbaikinya atau membolehkan untuk memberi peluang dan bersekutu
dengan kebatilan. Bahkan bukanlah perbuatan oleh karena itu kami tidak
berfatwa sampai kapan pun untuk membolehkan seseorang bertahakum kepada
pengadilan hukum buatan yang menipu lagi khianat, dalam kondisi apapun
dari berbagai kondisi, karena pada asalnya dakwah kami adalah berlepas
dari pengadilan ini dan berdakwah untuk menjauhinya. Serta kami tidak
mengkafirkan siapa yang menyelisihi kami dan mengikuti fatwa selain kami
dan bertahakum kepadanya di bawah kondisi ketiadaan kebanyakan
hukum-hukum Allah baginya di zaman istidl’af.
Di bagian awal telah kami ulas bahwa kami
tidak mengkafirkan siapa yang meminta pertolongan kepada polisi atau
selain mereka untuk menghindari kedhaliman orang yang dhalim terhadap
kehormatannya, jiwanya atau hartanya, yang tidak ada kemungkinan lain
untuk menjaganya kecuali dengan hal itu di bawah kondisi yang istidhaf
(tertindas).
Seandainya perbuatan tersebut dilakukan
lantaran ketakutan terhadap orang yang mendhalimi supaya si dhalim
mengembalikan hak-haknya, karena si dhalim mengira akan ditegakkan hukum
padanya jika tidak ia tidak mengembalikan hak-haknya (yang didhalimi),
kemudian pengaduan akan gugur secara langsung setelah yang (didhalimi)
mendapatkan hak-haknya dan tidak sampai berhukum kepadanya (Pengadilan
Umum).
Kalaulah perbuatan itu karena kondisi
dharurat (terjepit) maka bukanlah termasuk dosa selama yang mendhalimi
(si dhalim) tidak tunduk kepada Al-Qur’an, tidak mau berhenti dan tidak
takut kecuali kepada penguasa. Dan selama si pengadu tidak sekali-kali
berhukum dengan perbuatannya, bahkan menggugurkan pengaduan sebelum
sampai ke pengadilan umum (buatan), maka ia boleh mengambil haknya atau
tidak mengambil haknya (maka tidak masalah).
3. Kami mengingatkan kepada kaum muslimin
dengan landasan ini akan besarnya bahaya berhukum kepada selain apa
yang diturunkan Allah Ta’ala dan hal itu adalah kekafiran yang nyata. Di
mana mentauhidkan Allah adalah hal yang wajib dalam hukum dan syari’at.
Karena penyekutuan terhadap Allah dalam hukum-hukum-Nya termasuk bagian
dari penyekutuan terhadap Allah dalam ibadah kepada-Nya.
4. Sebagaimana nasihat-nasihat kami
kepada para ikhwan agar tidak terburu-buru dalam melakukan takfir
terhadap kaum muslimin yang tertindas (mustadl’afin) selain mumtani
terhadap syariat yang punya kekuatan serta memperhatikan kondisi (waqi’)
ketertindasan dan menerapakan syarat-syarat takfir dan
penghalang-penghalangnya, juga menghindari takfir dalam
persoalan-persoalan muhtamal (banyak kemungkinannya), dan lebih melihat
pada hal-hal atau perbuatan-perbuatan yang sudah pasti dan
sarana-sarananya, dan selain dari hal itu dari penghalang-penghalang
takfir…
5. Kami mewanti-wanti (menghati-hatikan)
kaum muslimin dari tipuan perkataan-perkataan yang syubhat para ghulat
(orang yang kebablasan) dalam masalah-masalah ini yang mereka tidak
memahami Al Haq dan tidak menyayangi makhluk. Dan jangan sampai
terperdaya dengan tipu daya mereka, meski mereka penuhi
perkataan-perkataan mereka yang berkaitan dengan thaghut, dengan
kebanyakan nukilan-nukilan Imam-Imam dakwah Nejdiyah tanpa pemahaman dan
tanpa ketelitian. Hal yang tidak mereka tepati dalam hal itu dari
ketetapan-ketetapan ahli sunnah, dan apa yang tidak mereka pahami dari
syarat-syarat takfir dan penghalang-penghalangnya.
Diantara mereka ada tokoh-tokohnya
seperti dalam pertanyaan dan selain itu, seperti “Penyeleweng” (Abu
Maryam) dan Dliyauddin Al Qudsy (Abu Jamil) dan semisal mereka, yang
mengambil perkataan dari para imam-imam tanpa selektif, kemudian mereka
jadikan alasan perhatian-perhatian mereka, dan juga tanpa tahqiq
(penelitian) terhadap tujuan perkataan mereka. Karena itu mereka banyak
mendudukan perkataan pada selain yang dimaksud oleh para ulama dan
mengambil perkataan yang tidak diambil oleh para Imam-Imam. Mereka
mengkafirkan tidak di atas petunjuk, hingga mereka mengkafirkan sebagian
para imam-imam (amir) kaum muslimin, mulai dari Mulla Muhammad Umar,
syaikh Usamah rahimahullah dan selain mereka, semoga Allah merahmati
mereka semua…
Fakta nyata di hadapan kita, tentang
Dliyauddin Al Qudsy yang dahulu berada di Afghanistan yang termasuk
generasi awal yang memerangi pasukan salib. Dan saudara kami Abu Mus’ab
Az Zarqawi rahimahullah telah berjanji kepadanya untuk melakukan diskusi
bersama sebagian ikhwan tentang fikrohnya yang ghuluw (berlebihan) dan
takfirnya terhadap kaum muslimin. Dan sebelum janji diskusi dilakukan
pada suatu malam Al Qudsy mengumpulkan pakaiannya dan pergi dari
Afghanistan kemudian pulang ke Yordania. Kemudian ia berkumpul dengan
kelompok yang Ghuluw di sana, setahu kami di daerah Az Zarqo’.
Ketika mereka bertanya kepadanya tentang
jihad di Afghanistan, “Mengapa anda pulang di saat manusia
berbondong-bondong kesana, ke Afghanistan untuk ikut serta berperang
melawan golongan salibis ?! “(kemudian Al Qudsy menjawab): “Sebaiknya
bagi mereka pulang saja darinya (dari berjihad), karena Thaliban dan
para pemimpin jihad telah kafir, dan tidak boleh berperang bersama
mereka, mulai dari Mulla Umar rahimahullah, syaikh Usamah rahimahullah,
Syaikh Dhawahiri dan selain mereka…” telah diceritakan kepada kami hal
ini dari orang yang hadir dalam majelis (ketika Al Qudsy bicara)…
Semoga Allah memberi petunjuk kepadanya…
Adapun Abu Maryam, saya tidak mendengar
tentangnya atau siapa yang telah mengambil perkataannya secara langsung,
seperti takfir (yang dilakukan oleh Al Qudsy) terhadap Thaliban dan
para pemimpin jihad. Tetapi kami mendengar dari sebagian ikhwan kami di
Kuwait, dan saya telah membaca sebagian perkataan orang yang membantah
atasnya di jaringan Internet…
Dan saya telah membaca miliknya
perkataan-perkataan yang memutlakkan takfir secara umum bagi orang yang
berhukum kepada pengadilan-pengadilan di zaman kita ini dalam keadaan
tidak adanya syari’at Allah tanpa melakukan rincian-rinciannya…
Demikian pula dalam takfir secara umum orang yang terlibat dalam pemilu tanpa adanya rincian-rincian…
Maka harus ada peringatan keras (Tahdzir)
terhadap dua orang ini (Abu Maryam dan Abu Jamil) dan kita harus
waspada terhadap tulisan-tulisannya dan pemikiran-pemikiran mereka…
Wallahu ‘alam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar